Doktorandus Marhali


Kalau kamu menyusuri jalan dari Stasiun KA Cilebut ke arah barat maka kamu bisa sampai ke Lanud Atang Sanjaya. Tapi sebelum sampai ke situ akan ada beberapa desa dan perkampungan yang sambung menyambung. Dulu, sebelum pertengahan sembilan puluhan, di sela-sela kampung itu masih banyak ditemukan sawah kebun yang indah menghijau yang kadang juga ditanami albasia yang tinggi-tinggi menjulang. Itulah kampung halamanku, tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Yang walau secara administratif termasuk kecamatan Semplak Kabupaten Bogor, tak urung bahasa ibu kami adalah bahasa betawi. Jadi kalau ada penjual keliling sunda memasuki gang kecil dan berucap "Punten" dengan halusnya pada sekelompok ibu-ibu maka pasti dijawab "Iya, Bang".
Sebelum memasuki Desa Kencana dari arah Stasiun Cilebut tadi kamu akan menemukan satu kompleks pemakaman yang cukup besar, berbentuk bukit kecil dengan pohon beringin besar di puncaknya. Kami menyebutnya Pasarean, sebutan yang berlaku juga untuk kampung sekitar kuburan itu. Di sana ada pertigaan yang menghubungkan kampungku dengan kampung-kampung lain di sebelah utara. Pertigaan itu persis diapit Pasarean dan Kali Pasanggrahan. Jalan dari pertigaan itu hingga ke kampung kami adalah jalan berbatu yang kurang terawat, mirip dengan arena perlombaan offroad, nama kampungku adalah Babakan.
Di pertigaan itu aku masih ingat sahabatku Ali. Dia pernah beberapa kali bicara serius tentang asal muasal namanya. Nama itu telah berhasil mendorongnya untuk memiliki cita-cita. Karena anak-anak kampung seperti kami ini umumnya miskin maka cita-cita adalah barang mewah. Saking mewahnya hingga kalo ada yang bertanya tentang itu kami hanya bisa mesem-mesem saja.
Selain itu anak-anak kampungku termasuk aku, bukan hanya miskin secara finansial, kami juga miskin dalam keyakinan. Kami yang masing-masing punya pekerjaan sambilan itu memaknai syukur dengan cara yang kurang tepat, mungkin karena kami sebenarnya masih kecil. Kami saat itu setiap akhir minggu akan pergi ke Pasar anyar untuk bekerja. Kebanyakan seperti aku menjual plastik "antirepot" dan jasa kuli panggul, ada juga yang membantu keluarganya menjual sayur mayur atau buah segar dan entah apa lagi. Yang jelas kami tidak terfikir sedikitpun untuk meminta-minta lewat mengemis atau mengamen. Bagi sebagian orang betawi zaman itu mungkin lebih baik mencuri dari pada mengemis. Kebanyakan kami hanya berfikir dan berniat bekerja untuk mendapatkan upah hari itu saja. Yang jika banyak jumlahnya kami syukuri pun jika merugi kami syukuri lalu kami habiskan semuanya. Tidak ada yang salah dengan itu kecuali membuat kami menjadi pasif menjemput rejeki dan wajar jika setelah berpuluh tahun merdeka anak cucu pejuang pribumi ini banyaknya ada di kaki lima.
Tapi tidak dgn sahabatku Ali, seolah jalan itu ada di depannya lengkap dengan rambu & lampu. Yang perlu dilakukannya hanya berjalan mengikuti semua petunjuk itu dan pasti akan sampai. Keyakinannya bahwa siapa yang berjalan di atas jalan yang benar akan sampai ke tujuannya. Sebuah keyakinan yang sebenarnya bersumber dari kitab agama kita.
"Tau engga lu kenapa nama gua Marhali?" Dia memulai tanya dan kami menggeleng sambil berbelok ke kiri di pertigaan itu.
"Dulu Bokap gua punya sodara, guru dia!"
"Sapa namanya, Li?" Aku penasaran dibuatnya.
"DOKTORANDUS MARHALI namanya!."
Kata-kata doktorandus itu diucapkan sedemikian keren saat itu hingga terdengar begitu agung, begitu sukses, walau kami belum tahu apa arti kata sukses saat itu. Aku lalu teringat bahwa Pamanku, Mang Jajat juga sedang kuliah di jurusan Tarbiyah IAIN Ciputat. Rasanya begitu mengingat pamanku juga akan menjadi doktorandus terangkatlah pamorku di depan Ali. Tiba-tiba saja kawan-kawan kami yang lain mejadi rakyat jelata, karena tidak punya saudara doktorandus.
Ali adalah sahabatku, bahkan kami ditakdirkan berkawan sejak sebelum dilahirkan. Ibunya, kami memanggilnya Umi adalah teman sekelas ayahku di SD. Umi sangat senang Ali berteman denganku karena menurutnya aku adalah anak yang pintar. Jangan mengira Umi pernah melihat raportku, aku ragu Umi bahkan pernah melihat raport anaknya sendiri. Umi kabarnya sangat mengingat bahwa dulu Ayahku selalu rangking dua di kelas. Mungkin dulu Umi suka mengantuk saat mengaji, sehingga mengira mahfudzoh "Al-'ilmu nuurun" (ilmu itu cahaya) berarti Ilmu itu nurun (nurun : diwariskan, bahasa betawi).
Ayah ibuku juga senang aku berkawan dengan Ali, mereka percaya kalau aku akan aman dari godaan setan jika berjalan bersamanya. Ternyata Ayahnya Ali, Abi yang bekerja sebagai pengrajin perhiasan adalah orang yang sangat menjaga sholat berjamaah. Ayahku melihat apapun cuacanya, Abi selalu ada di masjid lima waktu sehari. Bagi orang-orang kampung seperti kami masjid masih bisa dijadikan jaminan mutu keimanan.
                 Ayahnya Ali itu, Abi adalah orang yang sangat pendiam. Seumur hidupku jarang sekali aku mendengar beliau berbicara banyak atau tertawa terbahak-bahak. Kata orang zaman dulu, biasanya orang-orang yang menjaga bicaranya dari omongan tak berisi maka lidahnya pun jadi bertuah. Entah bagaimana Abi bercerita kepada Ali tentang Drs. Marhali itu. Tapi kelihatan sekali Ali begitu termotivasi dan sangat menjiwai cerita di balik namanya. Ali berkali-kali menceritakan kisah itu kepada kami.
Persahabatan kami sepertinya dihiasi persaingan abadi. Kami punya kesamaan sekaligus perbedaan yang dengannya membuat kami selalu beriringan. Di kelas, jika caturwulan ini aku juara 1 maka Ali pasti rangking ke-2, cawu berikutnya kami akan bertukar posisi, padahal kami duduk sebangku. Tepat di banjar kedua dari empat banjar di barisan pertama yang selalu terlihat paling rapi.
Di madrasah kami juga sekelas dan sama-sama santri kesayangan ustad. Ustad kami yang sudah renta itu sering memanggil kami ke kamarnya setelah pelajaran selesai. Kami diminta memijiti badannya, kadang kala hingga beliau tertidur pulas. Mungkin wali murid zaman sekarang akan menganggap itu sebagai perbudakan tapi bagi orang tua kami dan kami sendiri itu adalah wujud pengkhidmatan.
Di kelas, Ali dan aku bersaing di matematika, IPA, IPS dan karena sama-sama dibesarkan di Cilebut maka kami sama-sama buta basa sunda. Ali kuat di olahraga dan seni diplomasi, dia adalah ketua kelas abadi. Jika Ali berpidato maka dia bisa mengeluarkan candaan lucu yang akan menyatukan kami sekelas dalam tawa. Tapi Aku lebih baik darinya di bidang menulis dan deklamasi. Jika aku diminta menulis atau membacakan puisi rasanya kadalpun bisa kuubah jadi buaya.
Kami sama-sama suka menggambar, Ali suka menggambar makhluk hidup sementara aku suka menggambar pemandangan atau benda mati. Walau jujur ku katakan Ali sebagai anak pengrajin lebih baik di bidang seni apapun dari pada aku. Hasil gambarnya di pelajaran seni selalu diwarnai halus dan terlihat nyata sementara hasil karyaku warnanya belepotan keluar garis dengan bekas penghapus di mana-mana. Padahal kami sering menggunaka pensil warna yang sama. Apalagi seni tiga dimensi, tanganku tidak bisa memahat, memotong, mengelem bahkan melipat dengan benar. Namun entah kenapa, mungkin karena kami duduk sebangku, sejelek apapun ku rasa pekerjaan seniku nilai kami selalu kurang lebih sama. Belakangan aku tahu kalau ada guru SDku yang juga teman seangkatan ayahku & Uminya Ali. Tapi dari semua seni yang dikuasainya, seni qiro'atil qur'an lah yang paling fenomenal. Sehebat-hebatnya kita bertajwid rasanya di kelas maupun di madrasah belum ada yang selevel dengannya. Jujur saja kalau aku merinding saat mendengarnya mengaji.
Di madrasah agak sulit menemukan kekuatan dan kelemahan kami. Madrasah kami tidak mengenal sistem evaluasi seperti sekolah konvensional. Seingatku Ali lebih baik di bahasa arab walau dalam muhadatsah (latihan dialog) kami terlihat seimbang. Nahwu sharaf kami bisa dikatakan sebelas dua belas tapi daya hafalnya luar biasa, memungkinkan dia memiliki vocabulary yang lebih kaya. Satu hal saja yang sangat berbeda, Ali sangat suka membagi-bagikan jawabannya kepada santri lain. Aku memandang perbuatan itu kurang mendidik tapi dia merasa sedang bersedekah. Walau Ustadz sama sayangnya kepada kami, walau aku sangat menyukai ilmu fikih, hadits dan tarikh tapi tetap saja saat imtihan ku lihat lembar pidato Ali dua kali lebih banyak dari milikku. Dan tentu saja aku sangat iri, lembar pidato itu mungkin adalah pengakuan yang tidak resmi pada bakat seorang santri.
Tapi benarkah Ali anak yang begitu baik? Rasanya kisah ini sebaiknya tidak kamu ceritakan kepada ayahku.

Dulu kami pernah diganggu saat pulang sekolah oleh sekelompok anak dari kampung lain. Aku yang merasa bertubuh kecil dan kurang gesit memilih untuk berdamai dan menghindari mereka saja tapi tentu kawan-kawanku yang bertubuh kekar khas anak kampung merasa terhina dengan usulan perdamaian. Ali sahabatku itu bukan hanya menolak perdamaian tapi menjadi otak serangan balik kami.
Entah di kitab mana dia pelajari tapi strateginya sangat cerdas untuk ukuran siswa SD. Idenya adalah kami mengambil jalan memutar lewat Pesawahan supaya tidak bertemu dengan kelompok besar anak itu. Kami juga tahu bahwa salah satu mastermind kelompok itu tinggal di dekat jalur sawah yang kami biasa lewati. Maka siang itu, bak pasukan infanteri menyerbu markas musuh kami melewati rumahnya dalam barisan dengan mengendap-endap. Hebatnya perhitungan Ali, itulah juga saat si target terlihat keluar dari rumahnya. Tak perlu waktu lama kami segera mengerubunginya dan tentu saja aku yqng bertubuh kecil ini ada di lapisan terluar dengan tugas hanya menciptakan kegaduhan sementara. Selanjutnya tanpa diduga, sedikit sekali kontak fisik terjadi dan kami bisa melewati jalan itu dengan aman besok dan besoknya lagi dan seterusnya.
Lalu tibalah hari itu, hari perpisahan kelas 6 SDN Cilebut 1. Selepas Ebtanas kami semua dikumpulkan di suatu aula yang sebenarnya ruang kelas juga. Beberapa ruangan dibatasi sekat kayu yang jika dibuka membuatnya menjadi lorong panjang yang cukup lebar. Di situ aku tergabung dalam tim paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu perpisahan. Kami berlatih beberapa kali setelah ujian hingga dianggap cukup bagus untuk tampil. Beberapa orang temanku menangis tersedu saat menyanyikan lagu "Terima kasihku". Aku tentu saja tidak menangis, karena bagi kami anak-anak Kampung, menangis di depan khalayak apalagi dengan adanya orang tua kami di sana itu sungguh memalukan.
Lalu tibalah Ali dipanggil, dia maju ke depan dan melagukan bacaan qur'annya dgn begitu indah, tanpa teks. Lembaran pidato tempo hari sudah cukup jelas menggambarkan bakat kami, maka penampilannya hari ini membuat kontrasnya semakin menyala. Sebagus-bagusnya aku ternyata harus dimasukkan di tim paduan suara dan sejelek-jeleknya Ali dialah yang hari itu diberi panggung solo. Sejenak aku lupa kalau NEMku sebenarnya lebih baik darinya.
Selepas hari itu kami berpisah jalan, tidak lagi melewati jalan Pasarean bersama lagi mungkin untuk selamanya. Aku diterima di SMP negeri di Kota Bogor sebagaimana keinginan ayah dan ibuku sementara Ali sebagaimana selalu diceritakannya akhirnya masuk tsanawiyah pondok pesantren. Kawan-kawan kami yang lain melanjutkan ke sekolah yang benar-benar berbeda juga dgn kami. Sejak hari itu Ali benar-benar menghilang dari hidupku.
Malang,12 tahun kemudian.
Aku berjalan di depan sebagai pengantin pria sementara ayah ibuku di belakangku dalam dua banjar. Di belakangnya ada keluarga besarku dari Bogor dan Jombang beserta sahabat kami dan sekelompok anak muda yang berseragam dari majlis taklim depan rumahku. Masing-masing tangan membawa keranjang berisi hadiah persembahan untuk pengantin wanita. Rasanya semakin dekat ke rumah calon mertua rasa hatiku semakin tidak karuan.
Di tengah rasa tidak karuan itu ada acara pidato yang disampaikan oleh perwakilan masing-masing rombongan. Shohibul bait mertuaku diwakili oleh paman istriku yang merupakan seorang pejabat pemerintah daerah setempat sekaligus ulama. Sementara itu hatiku semakin tidak menentu karena dari rombongan Bogor Ustad Jajat tidak kelihatan hadir karena sakitnya. Tidak mungkin ayah berpidato, semua sudah tahu itu. Tidak pernah ada ceritanya juga pengantin pria pidato di pernikahannya sendiri. Lalu pembawa acara kami pagi itu memaklumatkan bahwa yang akan mewakili shohibul besan adalah USTADZ MARHALI Es Pe De Ii.
Aku memang melihat dia di barisan belakang bersama para santri. Aku juga yang dulu ketika meninggalkan majlis itu demi merantau ke Cilegon mewasiatkan kepada Ustad Jajat agar Ali yang kabarnya sudah lulus dari pesantrennya direkrut untuk menggantikan aku mengajar. Tapi sungguh mengejutkan kalau sahabat lamaku ini kini menjadi badalnya Ustad Jajat. Lalu diapun kembali menunjukkan kualitasnya, di hadapan hadirin yang mayoritas beretnis Madura dan Jawa Ali masih bisa berkelakar dan menyita mata telinga para hadirin lewat pidatonya.
Lama waktu berselang, aku kadang pulang kampung dan mampir melewati Pasarean. Di jalan yang setelah reformasi bergulir dan beberapa era bupati berganti masih tetap berbatu itu aku termenung. Tentang Ali sahabatku yang kini sudah menjadi guru di salah satu SD Islam di Bogor. Tentang dia dan cerita di balik nama juga cita-citanya yang kini terpenuhi. Tentang kerelaannya menempuh jalan sulit masa remajanya di Pesantren demi tujuan yang sangat benderang di jiwanya.
Dibandingkan denganku yang nampaknya tidak jelas benar arah jalannya. Rupanya meski sudah bekerja dan memiliki penghasilan aku masih saja miskin keyakinan. Bahwa aku ini mungkin hanya bekerja untuk mendapat upah bulan ini dan maksimal bonus tahun depan. Kalau dulu aku biarkan kemiskinan meracuni mentalku dan melemahkan cita-citaku, kini rasanya keculasan sebagian orang dan ketidak pedulian atasan masih juga ku izinkan menyakiti jiwaku.
Kali Pesanggrahan yang pernah kami gunakan untuk mandi sepulang sekolah itu dulu jernih. Kini dia berubah kecoklatan, berbau dan ditutupi banyak busa di jeram-jeramnya. Mungkin begitulah hidup kita yang dibiarkan mengalir dan dicemari limbah begitu saja. Kali itu secara alami telah diberi kemampuan menetralkan pencemaran dalam batas tertentu. Maka hidup kitapun jugapun punya batasan untuk dicemari.
Kuelus lembut rambut anakku subuh itu, ku usap ubun-ubunnya dengan doa sepulang ku dari masjid. Lalu ku bisikkan di telinganya apa yang tersimpan di hati kecilku.
"Nak, kalau kamu sudah SD nanti, ingatkan Ayah untuk bercerita mengapa ayah menamaimu Alfarizky Hasan Nurdianto ya!"

Malang, 14 November 2013

Komentar

  1. Wah, Kang Harry asli dari Desa Kencana ? Saya sejak kelas I SD tahun 1981 tinggal di desa sebelahnya, Desa Mekarwangi. Dulu SD-nya di SDN Kencana I. Sejak Jl. Baru (sekarang Jl. KH Soleh Iskandar) dibuka suka lewat Pasarean-Cilebut kalau mau ke Pasar Anyar/Bogor kota. Tapi sejak tahun 2000 kami sekeluarga pindah ke Ciomas. Jadi kangen daerah situ. Kabarnya udah rame banget ya...

    BalasHapus
  2. Very nice article
    You should be a writer

    BalasHapus
  3. Teh Ratna, saya orang Babakan, masuknya Cilebut barat. Kalau dari Pasarean ke arah utara kira-kira 3 Km. Tapi Ayah saya aslinya orang Kencana, Gang Masjid, kalau orang asli Mekar wangi angkatan lahir 60-an insyaallah kenal dgn beliau. Karena waktu masih mudanya (katanya) mirip saya : ganteng sekali. Hehehehe.... Makasih udah mampir

    Tito, Gua kan emang penulis. Dimulai dari Lapsus! Hehehehe... Makasih udah mampir

    Teh Ria, Makasih udah mampir. Silakan disebarkan lagi, selama menampilkan sumbernya tidak apa-apa. Semoga bisa mencerahkan yang mendung.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya