Cerita Dadar Gulung

Kalau saya diminta membagi dua periode hidup saya maka akan saya bagi menjadi saat sebelum hijrah yaitu periode remaja di Bogor dan sekitarnya, dan periode setelah hijrah ke Jawa timur. Di periode Bogor saya mendapatkan semua bahan yang dibituhkan untuk membuat pondasi dan di periode Jawa timur adalah saat pondasi itu ditempa menjadi bangunan baru.

Pun kalau saya ditanya apa pekerjaan pertama saya sebagai profesional maka saya akan menjawab berjualan kue di bulan Ramadhan sekitar dua puluh tahun lalu, tentu itu terjadi di periode Bogor. Saya sebut profesional karena pekerjaan itu saya niatkan sungguh-sungguh untuk mendapatkan upah. Saat itu saya bersama saudara sepupu bekerja menjualkan kue seorang Janda tua di dekat rumah kami yang selalu kami panggil Uwak Aat. Ini sebenarnya kurang tepat memanggilnya uwak dan lebih tepat memanggilnya Nenek, tapi begitulah kami yang lugu mengulang setiap ucapan orang tua apa adanya.

Di bulan selain ramadhan Uwak menjual nasi uduk, pecel, karedok dan gorengan. Tentu saja di kampung betawi tidak ada warung nasi buka pada bulan ramadhan. Jenis kue yang kami jajakan saat itu adalah dadar gulung, pais, gemblong dan aneka kue basah lain yang umumnya manis rasanya dan cocok untuk berbuka puasa. Kami membawa kue-kue itu dengan menaruh tampahnya di atas kepala secara bergantian lalu berteriak sepanjang jalan.

”PAAAIIISSS, DAAAADAAAR…”

Sungguh saya masih ingat bagaimana intonasinya!

Setelah berjalan berkilo-kilometer menjajakan dagangan sejak ba’da dzuhur kami akan menyetor di sore harinya kepad Uwak, lalu Uwak memberi kami sejumlah uang sebagai imbalan. Sebenarnya kue kami tidak setiap hari habis terjual, ada kalanya tak satupun dalam satu RT ada yang membeli. Tapi seberapapun kami mampu menjual Uwak selalu memberi kami upah. Saat itu saya tidak pandai menghitung uang dan juga tidak terlalu memikirkannya, tapi kini setelah dewasa saya baru menyadari sesuatu yang janggal.

Bahwa saya walaupun saat itu miskin tetap saja lebih sejahtera dari pada Uwak, Ayah saya adalah pegawai negeri yang walaupun rendahan tetap selalu mendapat jatah beras setiap bulan, jadi kami tidak pernah kelaparan sebenarnya. Sementara uwak adalah janda yang menggantungkan hidupnya dari berjualan makanan kecil-kecilan dan santunan anak-anaknya yang juga bekerja serabutan. Keluarga uwak itu adalah potret lingkaran kemiskinan orang betawi yang begitu dekat dengan ibu kota tapi tidak bias mencicipi kata sejahtera. Jadilah sebenarnya mungkin uwak merugi dengan memberi kami upah untuk dagangan yang tidak laku.

Saya akhirnya merenungkan itu setelah mengalami periode karir yang tidak menyenangkan. Tuhan mengajarkan saya lewat pengalaman buruk itu banyak hal yang sungguh indah. Demotivasi dan pupusnya moral rupanya bagian dari jalan Tuhan untuk memanggil saya pulang kembali, ke ajaran-ajaran luhur yang saya terima di kampung halaman.

Uwak yang setiap hari memberi kami upah walau dagangan tidak terjual habis rupanya sedang mengajarkan saya tentang salah satu prinsip dasar manajemen SDM. Bahwa upah dan penilaian dalam sistem SDM bukan semata bertujuan untuk mensejahterakan pekerja. Ternyata reward dalam sistem adalah tool yang kita gunakan untuk memelihara motivasi dan kesetiaan anggota tim. Andai Uwak tidak memberi kami upah saat dagangan sedang sepi pasti itu adalah hal yang adil, tapi tentu besoknya kami mungkin akan memilih tidur di masjid dari dzuhur sampai maghrib dari pada berlelah-lelah di bulan puasa yang  panas untuk menjual kue-kuenya.

Saya mungkin pernah membaca bahwa Napoleon Bonaparte pernah mengatakan bahwa motivasi adalah sesuatu yang membuat seorang prajurit berani mengorbankan jiwa raganya untuk sehelai pita. Tapi Uwak Aat yang bahkan tidak lulus SR itu sesungguhnya guru yang lebih bijak bestari dari pada kita yang mungkin saja sarjana tapi gagal memahami hakikat hidup, mengorbankan motivasi demi idealisme yang tidak sesuai konteks.

Wallaahua’lam.

Pasuruan, 16 Juli 2014

Komentar

  1. Inspiratif dan menyentuh hati.. selalu senang membaca karya penulis ini..

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah semuanya dari Allah..

    Salam kenal ya, Necata.

    Adakah karya anda yg bisa saya baca juga?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Sang Surya