Kurang Sepuluh Detik




Kurang Sepuluh Detik
Senin, 4 Maret 2013 menjelang magrib di sekitaran Terminal Arjosari Malang.
Jalan sekitaran terminal pada jam pulang kerja selalu dipenuhi oleh aneka kendaraan, ada roda dua, mobil, bis antar kota dan pejalan kaki yang naik maupun turun dari bis.
Sesaat setelah Isuzu Elf berhenti di tepi Jalan Raden intan tepat di seberang pintu keluar bis antar kota, kami pun berhamburan keluar sambil menguap sebentar-sebentar menahan kantuk. Saya segera bergegas menuju salah satu tempat penitipan sepeda motor.
Sebelum masuk ke pintu gerbang selebar dua meter saya melihat sekelompok pekerja sedang mengantri untuk mengambil sepeda motornya sambil mengobrol dengan petugas parkir di sana. Karena petugas parkir bertemu kami dua kali sehari sepanjang weekdays maka walaupun sama-sama tak tahu nama masing-masing kami bisa saling menyapa dan mengobrol apa saja. Tapi sepanjang hari itu sejak kemarin berita kekalahan Barcelona dari Real Madrid adalah head line diskusi di mana- mana, utamanya di loket parkiran seperti ini.
Di pintu gerbang parkiran itu pula saya berpapasan dengan seorang laki-laki yang memakai sepatu safety. Saya cenderung memperhatikan sepatu safetynya yang masih cukup bagus dan bersih, karena bagi saya paling tidak itu menunjukkan dua hal : dia tidak bekerja di lapangan seperti saya yang umumnya sepatu safetynya sudah banyak tergores; atau dia mempunyai dua pasang sepatu, yang satu digunakan untuk bekerja dan yang satu lagi digunakan untuk pergi pulang ke rumah. Laki-laki itu, tiga puluhan kira-kira usianya, juga mengenakan celana seragam kerja berwarna gelap dan mengendarai sepeda motor H*nda bebek hitam dengan striping merah. Saya tidak mengatakan apa-apa, kami hanya berpapasan beberapa detik sebelum giliran saya membayar ongkos parkir dan mengambil sepeda motor dari petugasnya. Lalu laki-laki itupun keluar dari tempat penitipan menuju jalan raya.
Sementara itu di dalam sebuah mobil angkutan kota berwarna biru, seorang bapak berseragam TNI AD sedang mengobrol dengan sopir. Mobil angkot itu berjalan dari arah barat menuju terminal Arjosari bersama dengan angkot dan kendaraan lain. Salah satu dari kendaraan itu adalah sepeda motor S*zu** S**tri* 2 tak yang dikemudikan seorang remaja tanggung dengan kecepatan tinggi. Remaja itu meliuk-liuk melewati kendaraan lain dengan cepatnya.
"Duh Arek yooo, banter men!" (Aduh, anak itu kok kencang sekali!) Celoteh si sopir angkot dengan logat malangan saat remaja tanggung itu menyalib melewatinya dengan kecepatan tinggi.
Di loket parkir sambil menunjukkan tiket dan membayar parkir saya mengobrol dengan petugas loket lalu tiba-tiba..
.........BBBRAKKKKK.....
Suasana menjadi hening, saya membalik badan dan dua sepeda motor bergelimpangan sudah di tengah jalan. Kami berhamburan keluar dari tempat parkir lalu banyak orang segera berkumpul di sekitar TKP. Seorang bapak TNI AD dengan sigapnya turun dari angkot untuk memeriksa.
"Wuih,arek sing mau!" (Wah,anak yang tadi!) katanya.
Seorang anak muda jatuh tertimpa sepeda motor S**tri*  dengan pecahan serpihan bagian sepeda motor di mana-mana. Saya tidak memperhatikan dengan apa dia bertabrakan. Orang-orang segera menolong anak muda itu, mengangkat tubuhnya yang kejang-kejang ke tepi jalan sementara saya dan petugas parkir mengangkat S**tri* remuk dari tengah jalan. Saya lihat anak itu, remaja belum dua puluh tahun usianya dengan badan yang lebih tinggi dari saya, dia terbaring di sisi aspal dengan darah mengalir dari kedua ujung mulutnya dengan mata terbuka sambil badannya terus bergetar hebat seperti orang yang terkena gejala epilepsi. Saat kejang-kejangnya berhenti nafas anak itu terdengar berat dan terlihat sangat kesakitan.
Saya pernah mengalami kecelakaan lalu lintas saat masih menjadi tukang ojek di Bogor lima belas tahun lalu tapi rasanya tidak sesakit itu sepertinya. Waktu itu awalnya semua begitu gelap tapi saya masih bisa merasakan beberapa tangan mengangkat saya dari jalan raya ke sebuah sofa di rumah penduduk. Lalu dalam kesadaran rendah yang terbayang pertama kali adalah wajah ibu saya, lalu suaranya saat menasihati saya di dapur dan barulah rasa sakit datang perlahan-lahan bersama pandangan yang mulai jelas melihat darah di telapak tangan saya.
Petugas penjaga parkir segera bergegas melapor ke Polisi terdekat dan yang lainnya memanggil petugas Dishub terminal sementara saya mematung di depan anak itu tanpa tahu apa yang harus dilakukan dan belum menyadari ada korban lain di sana. Lalu sebuah mobil angkot dipanggil untuk membawa korban ke RS. Barulah saya mengetahui ada korban lain di sana, seseorang yang benar-benar menjadi korban dalam situasi ini.
Laki-laki 30an bersepatu safety dan bercelana gelap itu juga terkapar dan sudah diangkat ke pinggir aspal. Saat orang-orang mengangkatnya ke dalam angkot saya melihat dari hidung, mulut dan telinganya keluar darah. Sepeda motornya rusak parah, joknya lepas dari body dan dari tampilan kerusakan sepeda motornya mudah diketahui kalau dia ditabrak dari samping dengan kecepatan tinggi.
Lalu sayapun pulang...
Ga ngebayangin, istrinya mungkin sudah di-sms kalo dia (korban) sudah sampai terminal dan sebentar lagi nyampe pulang." Itulah kalimat istri saya di rumah saat saya menceritakan berita kecelakaan tersebut.
Mungkin istri saya juga melihat hal yang sama dengan yang saya lihat, bahwa ada begitu banyak kemiripan antara korban dengan saya dan orang lain di terminal sore itu. Yaitu kami sama-sama pekerja biasa yang pulang ke rumah membawa badan yang lelah. Pada saat yang sama entah berapa puluh pekerja seperti kami ada di sana, turun dari angkutan dan mengendarai sepeda motor ke rumah untuk bertemu keluarga. Tapi hanya dia, Tuhan hanya memilih dia, kurang sepuluh detik setelah dia berpapasan dengan saya yang hanya memperhatikan sepatu safetynya. Lalu kami berfikir andai saya menyapanya beberapa detik saja, mungkin orang lain yang akan terpilih di sana. Tapi itulah misteri takdir, seperti firman-Nya dalam Surat Yunus ayat 49 bahwa ajal itu tidak akan mundur sedetik atapun maju sedetik.
Lalu malam itu entah mengapa muncul sebuah kesadaran baru.  Bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh detik nasib kita bisa sangat berubah.
Rumah, kendaraan dan harta benda saya memang sederhana, tapi itu tetap rejeki saya. Sementara ada begitu banyak orang di luar sana masih tinggal dengan orang tua, dengan mertua atau bahkan tidak punya tempat bernaung, tidak bisa pergi ke mana-mana bahkan harus dibopong walau sekedar keluar kamarnya.
Anak saya, balita tidak terlalu istimewa bahkan sangat aktif dan kadang merepotkan, tapi tetap saja dia anak saya, sehat wal'afiat dan selalu ingin tahu. Sementara banyak pasangan yang bertahun-tahun belum dikaruniai anak sedang murung dan merasa kurang beruntung.
Istri saya juga punya banyak kekurangan sebagaimana suaminya ini, tetap saja dia adalah pasangan yang Allah pilihkan untuk saya. Sementara ada kawan di luar sana dengan gelar akademik lebih mentereng, jabatan cukup tinggi dan harta di mana-mana tapi menulis surat cinta saja belum berani dan menikmati hidup dalan kesendirian sambil meneguhkan senyuman setiap hari. Entah apa maksud senyuman dan status yang kelewat optimis di socialnetnya setiap hari.
Pekerjaan saya memang membosankan, dengan teman-teman yang sebagian menyebalkan, tapi inilah jalan nafkah saya dan itulah kawan-kawan saya. Sementara di luar sana banyak orang hampir kehilangan akal sehat karena tidak ada pekerjaan dan terpaksa bergaul dalam lingkungan yang sangat merusak. Rasanya tanpa sebagian teman yang menyebalkan maka hari-hari saya akan semakin terasa hambar pastinya. Lagi pula selain menentang gravitasi tanpa alat, hal lain yang mustahil di lakukan di muka bumi ini adalah memuaskan semua orang.
Selasa, 5 Maret 2013. Saya terlambat bangun tidur beberapa menit dengan kepala sedikit berat dan badan yang pegal-pegal.
Saya terdiam sesaat sambil melihat anak saya, Fariz-chan, masih tidur tengkurap dengan nyenyaknya di samping saya. Lalu saya sadar, saya sangat beruntung pagi ini! Bukan karena bangun kesiangan tapi karena saya masih bisa hidup. Bagaimanapun juga kalau kita masih hidup, sesulit dan sesalah apapun kondisi hari kemarin, selalu ada jalan untuk memperbaikinya hari ini.
Saya masih bisa memiliki rumah yang lebih baik atau menambah jumlah roda kendaraan saya dari dua menjadi empat nanti. Saya masih bisa mendidik anak saya untuk jadi lebih baik. Saya masih bisa belajar menjadi pasangan yang baik untuk istri saya.  Saya  masih bisa mencari dan melamar pekerjaan lain yang lebih baik. Banyak hal bisa dilakukan...biiznillah selama saya masih hidup.
Yang kemarin sudah tidak bisa di-undo lagi, hari esok masih belum jelas datangnya. So however, our day is only today. Selama kita masih hidup, selalu ada hal yang bisa disyukuri, selalu ada hal yang bisa diperbaiki.
Wallaahua'lam.
080313
Catatan Harry : Gambar berasal dari http://lssacademy.com/2008/06/30/ban-the-stop-watch/

Komentar

  1. salam kenal mas harry, itu tanggal nya salah mas. tanggal 4 maret 2013 seharusnya. itu temanku mas dan sudah meninggal dunia namanya agiek faiz( bisa search di facebook) kalau gak salah usia 28thn. meninggalkan istri dan seorang anak usia 1 tahun. Alumni PENS ITS Surabaya t elektro. itulah model anak sekolah jaman sekarang, kebut kebutan tapi tidak mempertimbangkan keselamatan orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Innaalillaahi wainnaa ilaihi rooji'uun,
      Allohummagfirlahuu wa'aafihuu wa'fuanhu waakrim nuzuulahuu wawassi' madkholahuu,
      Amiiin.

      Sama sekali tidak terniat untuk menuliskan cerita ini sebagai bagian dari penghakiman kpd sipapun korban dlm peristiwa itu. Saya percaya kita semua bisa mengambil pelajaran lebih dalam dari apa yg sekedar mampu saya tuliskan di sini. Semoga sebagaimana doa saya di atas, Allah SWT memberikan lebih dari ketentraman dan kedamaian bagi yg pergi dan yg ditinggalkan.

      Salam kenal juga, saya seperti yg dapat dibaca di biodata penulis. Hanya karena cuma bisa menulis, sayapun tidak tahu bagaimana menghias blog yg lebih baik dari ini. Mohon maaf karena saya pun juga tidak tahu bagaimana Mas samsul bisa tahu link ini ya?

      Terima kasih atas tanggapannya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya