Cerita Camilan



Apa yang dianggap berkah bagi sebagian orang mungkin adalah bencana untuk sebagian yang lain. Hal yang mengukir senyum di wajah saya mungkin menyayat hati kamu. Layaknya standar mutu air boiler, di HRSG tekanan rendah kadar silika yang kecil masih bisa diterima tapi di boiler tekanan tinggi kadar silika yang kecil itu harus diganti dengan yang suangattt kuecccillll atau boleh jadi nol.
Maka tekanan dan suhu berpengaruh terhadap standar kita sebagaimana pengaruhnya terhadap boiler. Merokok sambil bekerja di bengkel otomotif bisa saja mempererat persahabatan tapi merokok di bengkel anjungan minyak lepas pantai akan berbuah teguran. Menepuk pundak supir taksi di jalan mungkin jadi pertanda akrab, tapi tidak demikian bagi supir mobil jenazah. Dia akan kaget setengah mati bila pundaknya ditepuk dari belakang.
Seperti halnya pagi itu di sebuah kelas workshop kimia PLN Litbang Surabaya, saya bertemu dengan beberapa kawan lama sesama pekerja kimia di pembangkit thermal. Hampir sepuluh tahun bekerja di tempat yang sama telah menekan antusiasme saya ke titik di mana "semua terlihat sama".  Hehehehe... Beruntung kali ini wajah kawan-kawan lama itu sedang berseri-seri, karena ada yang baru pertama kali ini datang ke surabaya dan ada yang datang dengan jabatan baru. Mungkin saya harus meneliti akibat tempat baru dan jabatan baru pada tampilan wajah seseorang lain waktu.
Salah seorang kawan itu mengeluhkan (dengan wajah berseri-seri tentunya) tentang anak buahnya yang terlalu sering tukar dinas. Tingginya laju tukar dinas ini sampai membuat dia kebingungan melihat jadwal shift bawahannya sendiri. Penyebabnya bukan akibat demotivasi atau bisnis sampingan yang umum terjadi pada pegawai yang sudah tua, anak-anak muda ini sering kali tukar dinas karena jadwal kuliahnya berbentrokan dengan waktu kerja.
Kawan saya yang berseri-seri ini sebenarnya bukan kawan seangkatan dengan saya. Dia junior yang mulai bekerja beberapa tahun setelah saya, jadi untuknya saya masihlah seorang senior. Jadilah curhatannya itu study kasus yang renyah untuk dicamil sambil coffee time. Sambil berkaca pada diri sendiri dan menikmati secangkir kopi. Saya sendiri sebenarnya kurang suka mempermasalahkan senioritas dan menggilai formalitas. Karena selain seperti ini (junior saya  lebih tinggi jabatannya dari saya) sangat biasa terjadi juga sering kali pengalaman, kompetensi dan kedewasaan tidak linier dengan umur dan masa kerja. Maka ada kawan yang entah sudah jadi bos apa sekarang tetap bisa berbincang akrab dengan saya. Ada pula yang barusan promosi lalu mendadak sariawan menjaga jarak dengan rakyat jelata. Jadi saya nikmati saja camilan ini, kan sayang dibawa jauh-jauh dari Banten ke Surabaya kalau dibiarkan saja.
Camilan renyah itu ternyata disambut ceria oleh kawan saya yang lain. Dia yang kebetulan juga memiliki cukup banyak bawahan menceritakan pengalamannya kuliah di sela waktu dan sisa tenaga. Bos muda yang satu ini seangkatan dengan saya, kami berasal dari kampus, kelas dan kelompok praktikum yang sama di Ciheuleut. Hanya bedanya dia lebih ganteng dan saya lebih PeDe, dia lebih pintar akademis dan saya suka berorganisasi hingga dia  dilahirkan sebagai jenius dan saya dilahirkan untuk bekerja keras. Dia sebagaimana saya juga pernah mengalami saat-saat kuliah seperti itu, dengan sisa tenaga dan segudang sisa semangat saja lalu dibungkus doa pun kami pada akhirnya lulus juga.
Lalu saya teringat junior-junior saya di Pasuruan. Mereka berempat itu pintar-pintar, dengan jenis kecerdasan yang berbeda. Awalnya saat baru masuk kerja dulu : satu di antaranya sudah lulus D3, satu masih kuliah D3 PTN dan dua berrencana kuliah sambil bekerja. Kini lulusan D3 itu berjibaku dalam kuliah S1nya, yang D3 terpaksa drop out lalu pindah ke PTS yang lebih adaptif dengan pekerjaannya, satu orang sedang berusaha menegarkan fisik  mentalnya melaju Pasuruan-Surabaya untuk memburu sarjana dan satu orang terkapar mengambil nafas (semoga) untuk memulai lagi petualangannya.
Sebuah Pil Pahit bernama Ketabahan
Bekerja di BUMN bagi sebagian orang adalah impian, lambing kemapanan, yang telah jadi kenyataan untuk kami. Bagi sebagian orang adalah tujuan akhir dari perjuangannya semasa muda. Mereka dengan latar belakang yang berbeda-beda biasanya adalah lulusan terbaik yang mampu menembus seleksi ketat nan melelahkan. Anak-anak muda yang berkilau di kampus itu mendadak jadi biasa-biasa saja di sini, tentu saja karena mereka telah mencapai garis finish-nya. Tapi bagi saya (dan entah beberapa orang lain) tempat ini adalah kesempatan menempa diri. Saya sangat menikmati kesulitan di masa-masa kuliah dulu, masa-masa belajar mengatasi benturan kebudayaan antara saya dan para senior dan masa-masa kini saat saya belajar bersabar menunggu kesempatan lain.
Melihat akselerasi karir para junior, membiarkan sertifikat hasil perjuangan berdebu teronggok di dalam lemari atau menikmati bualan tak masuk akal orang-orang bernasib baik layaknya berjalan di bawah cuaca bulan desember. Kita butuh multivitamin untuk menjaga fikiran kita tetap waras dan akhlak tetap berkualitas.
Berbeda dengan multivitamin yang biasanya mengandung Asam askorbat dalam aneka bentuk atau sediaan, biasanya berwarna cerah, disalut gula atau berasa masam. Ketabahan adalah pil yang sangat pahit, terlalu pahit hingga sulit ditelan bahkan membuat muntah jika tercekat. Tapi hanya ini obat yang paling mujarab melewati cuaca ekstrim nan korosif itu. Kita harus menelannya suka atau tidak suka. Saat kita berhenti meminumnya, jiwa akan kehilangan staminanya lalu fisik akan menyerah lalu datanglah penyakit flu yang lebih mematikan dari flu manapun yaitu : KUFLUR NIKMAT.
Hehehe... Kufur nikmat maksudnya.
Hilangnya Negeri Tujuan
Kita boleh berhenti sejenak untuk menghindari badai, boleh berputar haluan mengubah arah tapi tidak boleh kehilangan tujuan dalam perjalanan. Saat kita tahu ke mana arah kan pergi kita bisa mempersiapkan hati dan kesungguhan lebih dari bekal materi. Maka kawan-kawan yang terkapar, tercecer dan terlena di jalan perjuangan mungkin bukan karena semata karena hati yang melemah tapi mata yang telah rabun.
Tujuannya dekat sekali hingga hatinya pun cepat merasa lelah. Mimpinya rapuh hingga semangatnya cepat menguap. Mereka sekolah untuk mendapatkan ijazah dan pangkat semata. Maka ketika tahu ijazah itu tidak akan ada harganya lenyap pula kesabarannya. Seolah rejekinya ditentukan oleh pangkat dan jabatan semata, layaknya air yang tak bisa naik ke tandon tanpa pompa.
Padahal andai dia yakini Allah adalah Sang Maha Pembagi rejeki tentu lain lagi ceritanya. Perjuangannya tak akan patah arang karena ijazahnya dipersembahkan kpd Raja diraja. Rejeki dari Tuhannya dipercaya mengalir lewat mana saja. Layaknya air yang tak bisa naik ke tandon tanpa pompa tapi dia bisa mencapai langit, dengan membiarkan diri menguap oleh panas matahari lalu turun kembali sebagai hujan.
Selamat belajar adik-adikku. Jangan jadikan selain Allah tujuan perjuanganmu!
Wallaahua'lam.
101212

Komentar

  1. Wah tulisannya Mas Harry menarik dan renyah, tapi dalem. Saya membacanya sampai berulang-ulang, untuk mengambil maknanya :)

    BalasHapus
  2. Untuk yg ini aja pa semuanya?

    Hehehe....

    Menulis itu terapi untuk saya,meluruskan yg bengkok dan memurnikan yg keruh.

    Kamu juga punya blog kah? (konyol,orang IT pasti punya donk yah!!)

    Thanks for step by

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya