Orang - orang di Tingkatan ketiga


Orang bilang semakin tua usia kita, semakin cepat rasanya waktu kita tinggalkan. Seperti saya , saya masih ingat siang itu, saat pertama Dhini datang ke ruangan Lab ini. Saat itu saya sedang menghadapi tiga orang anak PKL yang sangat spesial. Ya, they were so special for me. Bagaimana tidak, untuk mengajari mereka sistem external treatment saja saya harus menggunakan permainan "Cari Kartunya!". Yang saya tidak ingat apakah Dhini juga mengikuti permainan itu atau tidak.
Untuk bisa membaca level tangki hidrazin dengan tepat mereka harus rapat bertiga berkali-kali, rasanya selevel rumitnya dengan sidang isbath Kemenag tiap akhir bulan Sya'ban. Saya yakin Dhini masih sangat ingat bagaimana serunya Lab kita saat itu, apalagi karena kita punya lebih dari sepuluh tangki kimia. Mereka adalah sedikit dari orang-orang beruntung yang bisa menangis karena saya. Hehehe...
Sejujurnya saya sangat bingung harus bagaimana terhadap Dhini saat itu. Ada banyak hal yang mengganggu fikiran saya, salah satunya adalah dia orang Jawa tengah. Hehehe... Kata rekan senior saya dulu yang asli Jawa timur, orang Jawa tengah itu adalah "penusuk dari belakang". Saya dulu terlalu muda untuk percaya saja pada stigma konyol spt itu. Selain itu ada stigma lain yang beredar luas sejak saya masih di Banten dulu : "anak-anak S1 itu nanti akan nyalib kamu, biar aja ga usah diajarin!". Stigma itu sama, selalu saja menunjukkan kelemahan dan ketakutan yang tidak beralasan. Tapi percayalah, di Ujung Jawa itu, sampai tiga tahun lalu saya masih mendengar teman-teman saya mengatakan itu!
Setelah beberapa hari saya tahan, suatu sore saya mengungkapkan kegundahan saya kepada seorang sahabat yang sudah saya anggap mentor. Seperti biasa, mentor saya itu selalu positif dan taktis. Dan nasihatnya membuat saya mengubah visi kepemimpinan saya, saya pun naik ke tingkat ketiga dlm kepemimpinan..karena Dhini.
Apa itu tingkatan visi kepemimpinan? 
Tingkatan pertama adalah saat saya masih lucu-lucunya, usia tiga belasan dan sudah menjadi instruktur di sebuah perguruan silat yang menjadi ekstra kulikuler di sekolah. Di sana, walau masih ada pelatih lain yang lebih senior saya tetap memiliki wewenang untuk melatih anggota junior. Namanya juga bela diri tentu latihannya keras dan disiplin, jadi kadang saya memberi oleh-oleh sedikit memar di badan junior-junior itu. Saya juga sering memimpin mereka dlm acara Long march ataupun ujian tingkat di sekitaran Bogor. Saat itu tentu tidak semua junior mampu menyelesaikan aneka tantangan dan saya rasanya ingat pernah mengatakan :
"Saya tidak peduli sekalipun kalian harus berjalan dengan satu kaki, saya hanya mau tahu kalian sampai di sana bersama-sama!"
Itulah tingkatan terrendah dlm visi kepemimpinan.
Tingkatan kedua dlm visi kepemimpinan saya pelajari saat menjadi aktifis suatu harokah semasa SMA. Yaitu saat saya menjadi ketua departemen ta'lim (pembinaan) di masjid sekolah yang menjadi base camp pergerakan kami. Di harokah itu, yang saya yakini hingga kini sebagai sekolah kepemimpinan terbaik, saya bukan lg ditugaskan mengubah junior bermental Boyband menjadi Pesilat berfisik Satpam. Saya ditugaskan merekrut, membina, jika perlu memecat kader dan memberikan kegiatan keislaman terbaik untuk semua warga sekolah.
Dengan tanggung jawab sebesar itu saya beruntung dianugerahi Murobbi (mentor) , rekan dan mutarobbi (mentee) yang cerdas-cerdas. Hanya satu masalah yang pasti muncul saat kita berkumpul dengan orang-orang yang cerdas : banyak silang pendapat. Dalam kondisi seperti itu visi tingkat satu menjadi tidak relevan lagi.
Visi kepemimpinan tingkat dua inilah yang membuat saya bisa mengatakan :
"Tujuan kita ini besar dan jauh, maka saya mohon bantuan kalian untuk bisa mencapainya".
Dengan modal visi tingkat segitulah saya mengajar anak PKL, orang-orang yang pintar mengajar biasanya juga minimal setingkat itu. Intinya bagaimana memperlihatkan kepada orang visi kita sekaligus mengajak mereka ke sana. Tapi mengajar Dhini, orang yang mungkin nanti akan jadi atasan saya, tingkatan visi yang segitu sudah KUPDET!
Di tingkat berikutnya ini saya berubah dari mengajari dan menerima laporan menjadi mengembangkan dan menyelaraskan. Hal yang membuat ini penting tak lain adalah karena saya pernah bekerja di bawah visi kepemimpinan di tingkat yang sangat rendah. Yang dilakukan sehari-harinya adalah menyelesaikan tugas yang datang tanpa pernah memiliki gambaran masa depan yang ingin dicapai, hal-hal yang harus dihindari dan kompetensi untuk dibagi. Bekerja dengan visi yang tidak tepat lebih baik dari pada tidak ada visi sama sekali lho. Kalau kamu bertanya bagaimana suasana bekerja saat itu, lihatlah saya sekarang! Datang pagi-pagi dan berharap untuk segera tiba sore, hanya saja yang menyedihkan adalah bahwa usia saya hari ini 20 tahun lebih muda dari mereka saat itu.
Saya ajari Dhini semua yang saya anggap penting untuk diketahui tapi bukan untuk bekerja semata-mata tapi untuk mengembangkan dan menyelerasakan konsep tersebut ke tingkatan baru. Yang ada di fikiran saya saat itu adalah bahwa lima tahun lagi Lab ini akan minimal sedikit di bawah Lab Petroleum chemistry-nya Corelab. Jadilah sebenarnya saat itu saya sedang berkata :
"Tujuan kita ini jauh dan berat, tapi tanpa kamu sulit rasanya akan sampai ke sana".
Dan beruntungnya saya yang datang pertama adalah Dhini karena rasanya memang blm ada orang yang lebih cerdas darinya di Lab. Kalau ukuran cerdas adalah IPK atau nilai rata-rata maka saya pastilah orang terbodoh, tapi kita harus sepakat bahwa bukan itu yang saya maksudkan.  Cerdas di sini adalah bahwa dia bukanlah orang yang paling mudah diajari tapi paling mudah menangkap maksud kita, separah apapun kompetensi komunikasi kita.
Banyak konsep yang saya berikan menjadi nyata di tangannya. Konsep statistical based data handling dan  konsep ISO based single data flow dulunya hanya ada di angan-angan sampai Dhini masuk ke Lab. Hal-hal yang begitu rumit saya ceritakan ternyata hanya membutuhkan lima kolom di Ms. Excel. Singkatnya semua jenis ide saya yang njelimet ga karuan berhasil dilayarkan di kapal kecerdasan Dhini...sayapun tersenyum.
Kemampuan langka lain yang dimilikinya adalah Istiqomah. Langka karena kita tahu bahwa di sekeliling kita ada begituu banyak program yang diresmikan lewat potong tumpeng, syukuran dan aneka upacara kini hanya tinggal cerita atau plg tidak oleh-oleh untuk Tim yang menanganinya. Lain judulnya bila itu pekerjaan Dhini, sekali saja ditugaskan lalu diajari maka tak ada alasan selain komputer rusak yang akan membuatnya terhenti...saya pun tersenyum lebih dalam lagi.
Tapi tidak ada hal yang lebih menarik dari yang satu ini untuk saya : Dhini adalah orang yang sulit sekali dibaca. Orang-orang yang bekerja berdampingan dengan saya selama beberapa tahun biasanya akan terbaca. Bagaimana mereka ketika senang, ketika marah, saat energinya penuh maupun saat sudah menjelang habis. Semua terlihat dari raut muka, cara bicara, tatapan mata dan bahkan irama langkah kakinya. Saya bukan ahli di bidang itu tapi Dhini benar-benar tidak bisa saya baca, hingga sering kali saya berfikir tidak ada hal yang bisa mengganggu kestabilan emosinya. Pada akhirnya saya menarik kesimpulan bahwa inilah model orang dengan nilai EQ (kecerdasan emosional) yang tinggi. Itulah ketika senyum saya berubah menjadi rasa syukur.
Maka ketika beberapa tahun lalu saya diberi tahu bahwa saudara seperjuangan saya di Perak mendapat penilaian yang lebih baik dari pada saya, saat dua kali Karya inovasi kami di Lab berturut-turut digagalkan tampil di tingkat Kantor pusat, saat saya gagal di Wanjab dan aneka kejadian yang lain saya tahu kepada siapa saya harus berdiskusi secara profesional. 
Saya biasa menulis cerpen, karya ilmiah dan cerita nonfiksi yang kebanyakan adalah cerita perjalanan, pernah juga menulis semacam memoar tentang salah satu guru saya yang sudah meninggal dan serial di twitter tentang kawan saya yang tinggal jauh di Bogor sana jadi rasanya belum pernah mentemakan orang hidup atau orang dekat di luar keluarga. Jadi saat komputer staff itu rusak dan Lab kehilangan banyak sekali data, saya memutuskan untuk menulis tentang orang yang paling membantu saya di Lab. Juga sebagai pengingat saya pribadi bahwa tidak semua orang tidak peduli, tidak semua orang punya agenda tersembunyi pribadi dan tidak semua orang tidak bisa dipercaya.
Tulisan ini dibuat jauh dari kesan menggurui, menjilat apalagi merayu-rayu. Tulisan ini mungkin awal dari tulisan-tulisan atau kesadaran-kesadaran baru tentang pentingnya kita mengenali kawan-kawan kita. Rekan-rekan kerja saya mungkin punya persepsi sendiri yang bisa mereka ceritakan sendiri sebagaimana saya punya persepsi sendiri tentang mereka. Karena kebanyakan kita mungkin saja sudah begitu ahli (dan sukses) dalam suatu bidang sehingga lupa untuk mengakui bahwa keahlian kita (dan kesuksesan kita secara umum) adalah suatu hasil dari suatu proses yang dikerjakan oleh banyak tangan selain tangan kita sendiri.
Jadi janganlah putus asa pada seseorang yang putus harapan. Mereka yang kelihatan bodoh seringkali adalah orang pintar yang diajar oleh para pengajar yang tidak kreatif. Mereka yang terlihat lemah sebenarnya orang-orang yang gagal melihat kekuatannya. Mereka yang kalah adalah orang-orang yang tidak berhasil melihat harapan.
Kita kah orang yang kalah itu ?
Jangan takut karena harapan untuk melakukan perbaikan itu selalu masih ada!
Waallaahua'lam.

Malang, 12 Juni 2013

Komentar

  1. Wah, ngebaca juga tulisan mas Harry. Top mas :)

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah,menulis itu terapi utk saya. Dulu2 jg suka nulis tapi ga tahu pada hilang ke mana.

    BTW baru baca tulisan yg ini ya?

    BalasHapus
  3. Kalo kata Bang Tere "menulislah, karena yakin tulisan kita bisa merubah. menulislah, karena yakin tulisan kita bisa menghibur. menulislah, karena yakin tulisan kita bisa menemani."

    Udah lama sih tau dari Mba Ita, tapi baru blogwalking sekarang :D

    BalasHapus
  4. keren, kak.... lanjutkan !! biar bisa meng-inspiring banyak orang :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya