Apple Two Apple
Beberapa
bulan yang lalu saya pernah mengatakan bahwa Lab kita akan mengalami down grading. Padahal saat mengatakan
itu sebagian dari kru sedang dilatih untuk membangun prosedur Sistem Manajemen.
Ada juga beberapa anggota kru lain yang direncanakan mengikuti diklat lain di
luar unit. Seharusnya saat kita bersistem atau saat kompetensi
personilnya ditambah level kita akan semakin tinggi. Tapi di bawah ini akan
saya ceritakan satu hal yang menurut pandangan saya menjadi indikator kondisi
sebaliknya.
Kurang
lebih satu bulan sejak kembali dari penugasan di Lombok saya mengamati adanya kelompok
siswa PKL baru. Sama seperti terhadap siswa PKL kelompok-kelompok sebelumnya
saya juga mengamati. Tentu orang yang bertalent
sangat mudah menarik perhatian kita, tapi sayangnya saya tidak memperhatikan
itu, saya memperhatikan kita.
Saya
melihat pada 2 kelompok PKL sebelumnya ada sebagian kru yang tidak mau
mengajar. Pada kelompok terakhir ini malah jumlah yang tidak mengajar semakin
besar. Pun juga pada kru yang pulang dari diklat, tidak ada copy materi yang
ditulis ulang atau power point yang dipresentasikan. Pada kasus ketiga kita
bisa beralasan bahwa materi yang disampaikan hanyalah materi biasa. Tapi
sebenarnya dalam setiap diklat dan benchmark
kita akan selalu punya cerita untuk dijadikan bahan perbaikan.
Saya
tidak ingin membahas mengapa kita tidak mengajar karena itu bukanlah kekuasaan
saya. Tapi saya ingin berbagi kalau saja mungkin kita lupa mengapa kita harus
mengajar.
Hal
terbaik dari mengajar adalah kita akan selalu mendapatkan ilmu baru. Jika punya
1 apel yang kita berikan kepada orang lain maka akan pasti jumlah apel kita
berkurang. Tapi 1 ilmu yang dibagikan akan membuat jumlahnya semakin bertambah,
baik kualitas pemahamannya, kuantitas materinya apa lagi barokahnya.
Mengajar
itu juga bukan semata proses mentransfer ilmu dari satu orang kepada orang
lain, tapi juga dalam proses transfer itu kita belajar berkomunikasi. Peter Drucker
mengatakan bahwa yang terpenting dalam komunikasi bukanlah metode penyampaian
maksud tapi mendengar apa yang tidak terucap. Dan mengajar adalah salah satu
pelatihan paling efektif sebelum komunikasi yang lebih penting, artinya kita
sedang belajar sambil mengajar.
Saat
ada di depan kelas kita mungkin bisa menyampaikan pidato berapi-api tapi gagal
total mengerti apa keinginan siswa. Tatapan matanya, cara duduknya, apa yang
dipegangnya saat kita bicara, penekanan kata dll menunjukkan apa yang
sebenarnya jadi fokusnya saat itu. Mereka tidak mengatakan tapi kita harus bisa
mendengarkannya. Jadilah kita orator tunggal yang materinya hanya bisa
dimengerti oleh orator itu sendiri, dan bagi saya itu sangat menyedihkan!
Contoh
akibat kegagalan (belajar) komunikasi di satu sisi bisa jadi ekstrim sekali. Bisa
jadi ada boss yang tidak mengerti bahwa dirinyalah yang menyebabkan turun
kinerja bawahannya. Atau ada anggota tim yang selalu merasa semua teman akan
memakluminya (padahal tidak). Ada atasan yang masih tidak bisa membedakan antara
diskusi dan instruksi. Atau bawahan yang tak pernah habis buruk sangkanya pada
atasan. Semuanya bermuara pada tidak efektifnya organisasi, seperti halnya gas Nitrogen di suatu ruangan tertutup, efeknya yang aspiksian membuat organisasi sesak nafas lalu pusing dan bisa saja mati. Seorang chemist senior yang
kini dipindah ke Jawa tengah pernah berujar : "energi kita ini banyak
habis bukan untuk bekerja tapi untuk berkomunikasi, mas!".
Secara
pribadi untuk saya mengajar adalah membayar hutang. Pada mereka yang ikhlas
hatinya telah mendedikasikan ilmu kepada saya. Pada mereka yang menggunakan
banyak waktu untuk mengajak saya melihat dunia baru. Dan tentu pada generasi
masa depan yang akan menghadapi lebih banyak kesulitan, wabil khusus anak saya sendiri. Sulit membayangkan anak saya
mendapati guru atau pembimbing yang malas membagi ilmu.
Saya beruntung karena saat menginjak Grati
pertama kali hingga hari ini sedikit sekali senior mengajari saya. Mereka yang
katanya ahli nan berpengalaman ternyata tidak terbiasa berbagi ilmu. Sulit bagi
saya untuk menerima kenyataan bahwa mungkin saja tidak ada ilmu untuk dibagi
atau malah tidak ada budaya berbagi sama sekali. Akibatnya adalah begitu banyak
kesulitan yang saya alami di tahun- tahun pertama sebelum akhirnya
kesulitan-kesulitan itu malah menjadi nikmat yang tak terkira. Sebagian nikmat
itu sebagaimana buah apel sudah saya bagikan kepada junior-junior saya sejak
hari pertama mereka sampai di sini. Semoga
jika Allah mengabulkan doa saya untuk memperbaiki diri di tempat lain,
apel-apel itu terus membelah diri.
Jika aroma galau begitu kental dirasa dari tulisan ini, maka bersyukurlah! Karena dari kegalauanlah kita bisa mulai menata diri.
So lets rise and shine!
Pasuruan,
13 Maret 2014
Catatan : Gambar dari http://www.healthandbloom.com/5-Simple-and-Effective-APPLE-FACE-PACKS.php
Komentar
Posting Komentar