Kristal-kristal Langit



Hujan turun deras sekali sore itu, yang ku lihat hanya pandangan yang semakin kabur oleh warna putih yang tercurah dari langit. Untunglah angin tidak terlalu kencang dan petir tidak menyalak-nyalak seperti biasa sehingga aku masih berani berlari menembusnya. Perlu kamu tahu, Kawan.. di Kampungku itu hujan, angin dan petir seperti Aku, Rizal, Anggara, Gusti dan Wawan di SMPN 12 Bogor. Tidak  semua orang mengenal kami tapi mereka sering berasumsi kami selalu bersama-sama.

                Kalo kamu masih mencoba menghitung jumlah kami yang tidak persis tiga orang seperti hujan, angin dan petir maka sebaiknya kamu mulai menyadari bahwa cerita ini hanya FIKSI semata. Andai ada yang dirasa sama maka mungkin kita memang melalui masa remaja yang sama merananya.

                Wawan adalah petirnya, suaranya memang tidak garang seperti petir, hanya karena badannya yang paling tinggi dan kekar di antara kami. Kehadirannya cukup memberi efek menakutkan bagi yang lain, terutama yang tidak mengenalnya baik. Wajahnya yang sebenarnya ganteng itu tidak mampu menutupi kekurangan di kepalanya yang sengaja dieksplorasi oleh para hater. Rupanya sebiji bisul akibat salah makan saat kelas 1 SMP membuat dia menghadapi masa remaja yang berat, si Pitak demikian dia dipanggil sepanjang masa itu membuat kepalanya selalu tertutup topi.

Tapi tahukah kamu apa yang paling menyebalkan baginya tentang itu, Kawan? Yaitu saat dia mencoba peruntungannya untuk menyatakan perasaan cinta monyetnya kepada seorang dara tetangga kelas melalui selembar surat cinta. Si Dara pujaannya tak mengenal nama pengirim yang tertulis wangi di sampulnya sampai teman sebangkunya menyebutkan dengan terang benderang.

Eta si Pitak budak kelas 2 B tea!” (itu si Pitak anak kelas 2 B - Basa Sunda). Seketika hancurlah hatinya.

                Anggara dan Gusti seperti angin, mereka tidak punya apapun untuk diceritakan. Maaf bukannya aku tidak sopan dan tinggi hati, tapi dalam kehidupan nyata Tuhan memang terlihat memilih orang-orang tertentu untuk jadi no body. Bukan karena mereka tidak berharga tapi semata karena mereka belum menemukan kondisi yang tepat. Di masa SMP mereka tidak ganteng, tidak pintar olah raga, tidak pintar di kelas dan bukan juga anak orang kaya. Anggara dan Gusti itu dianggap angin lalu oleh teman-teman kami, tidak pernah dimasukkan namanya dalam kertas gulungan pemilihan Organisasi kelas selain daftar piket, tidak diingat oleh dara cantik kelas berapapun dan kalau bukan karena badge lokasi di lengan kanannya Bapak Ibu guru mungkin saja tidak ingat kalau mereka pernah hadir di kelasnya.

Tapi tidak bagiku, entah karena aku pada dasarnya tidak memiliki apa-apa sehingga memiliki teman menjadi hal yang sangat berarti. Perlahan setelah aku menjadikan mereka sahabat aku pun mulai melihat kelebihan-kelebihan mereka dan karenanya aku senantiasa membutuhkannya. Paling tidak mereka tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan sampinganku sebagai Tukang ojek atau Pedagang asongan di Pasar di hadapan anak-anak remaja sok kaya. Maka jika hari ini kamu membuka-buka buku angkatan dan melihat beberapa orang yang tidak kamu kenal lagi namanya, mungkin merekalah Angin itu. Saat itu mereka bukan siapa-siapa tapi hari ini mungkin saja mereka kaya luar biasa, sukses berbisnis atau menjadi penemu hebat. Lalu kita yang berpapasan dengan mereka dan menyapa dengan akrab harus menelan kecewa.

“Kamu siapa yah?” Sang Angin itu hanya menengok sebentar lalu berkata lewat sorot mata dan senyuman keringnya sebelum benar-benar berlalu.

                Lalu siapakah yang kehadirannya selalu membasahi hati dan menghadirkan kesejukan seperti hujan?

                Tentu saja Aku dan Rizal. Hehehehe….

Tolong jangan tersinggung lagi, Kawan! Ini cerpen tulisanku yang aku upload di blog pribadiku, maka biarkanlah aku menulis semauku. Kalau kamu tidak setuju silakan berhenti membaca!

Eh, maaf… aku engga serius kok, jangan ditutup halaman blognya yah! Baca dulu sampai selesai  Okey!

Rizal dan Aku sama-sama anak Betawi kampung di antara orang-orang Sunda di Bogor, tentu bukan hanya kami, ada puluhan anak-anak Betawi kampung yang datang dari sekitaran Cilebut - Bojong Gede untuk bersekolah di Bogor. Selain itu kami ternyata juga sama-sama sering disebut namanya karena terlalu sering di tulis namanya di tiga besar kelas. Rizal sangat koleris, popular wanna be, di mana ada keramaian dia kan masuk dan mencoba peruntungan di dalamnya. Tak peduli suaranya hanya cocok membawakan sholawat badar dia selalu menyumbangkan lagu. Badannya yang tidak tinggi itu juga tidak menghalangi semangatnya bermain basket, sepak bola ataupun bela diri.

Mungkin menurutmu kami bosan mendengar dia selalu dipanggil untuk acara ini dan itu, tapi sebenarnya kami menyukai sifatnya itu, dengan pengorbanannya kami selamat dari hal-hal memalukan di depan orang banyak. Jadilah kami rajin menyorakinya “RIZAL…RIZAL… RIZAL…” sayangnya itu bukan bentuk dukungan tapi lebih kepada penjerumusan!

Aku tentu juga hanya cocok membawakan sholawat badar tapi aku sangat tahu diri, aku hanya bernyanyi di saat sepi, di dalam hati, sambil menulis puisi atau cerpen seperti ini. Badanku tidak setinggi Wawan atau sependek Rizal tapi aku konsisten dengan satu olah raga saja, Bela diri. Konon wajahku yang terlihat melas dan badanku yang kurus membuat pelatih-pelatihku tidak tega untuk tidak meluluskanku dalam tiap ujian kenaikan tingkat sabuk. Dan itulah yang membuat aku jadi satu-satunya siswa SMP berkualifikasi instruktur muda saat yang lain masih belajar kuda-kuda.

Aku menyukai semua jenis pelajaran dan cukup berprestasi di semua lini kecuali Kesenian dan Olah raga tapi ada satu cerita yang tidak akan aku lupa. Di kelas 3 guru bahasa inggris kami itu adalah wanita berkerudung yang sebenarnya cukup cantik, tapi karena dia mengajar bahasa inggris seperti melatih bela diri maka aku sering mengantuk di kelasnya. Saat itulah, saat aku sedang menguap karena diserang kantuk hebat dia mendatangiku tiba-tiba.

“Kamu mengantuk, Har?” matanya tajam menatapku kejam.

“Iya, Bu…” sambil meringis tentu saja.

“Kenapa kamu bisa mengantuk?” Dia melunakkan suaranya untuk menjatuhkanku.

“Saya bosan, Bu”. Entah apa yang ku fikirkan saat mengatakan itu.

“Kerjakan saja LKS (Lembar Kerja Siswa)mu sampai selesai jika kamu bosan melihat saya!” Nadanya meninggi.

“Sudah selesai, Bu.” Aku menunduk takluk.

“Kerjakan juga Bab-bab yang lain, soal-soalnya masih banyak, kalau perlu satu Catur wulan ini kamu garap semua, kamu kumpulkan di meja saya lalu setelah itu selesai kamu boleh istirahat.” Kali ini nadanya tenang karena sudah merasa menang. Lalu akupun berdiri, menaruh bukuku di mejanya dan keluar dari kelas.

“Silakan diperiksa, Bu. Sudah dari kemarin LKS Bahasa Inggris ini selesai saya kerjakan.”

Dan aku lihat dia terbengong sambil membolak balik LKSku. Sorenya dia mengembalikan LKS itu sambil tersenyum manis sekali. Dan bukan hanya dia yang tersenyum manis sore itu, Wawan, Gusti, Rizal dan Anggara tersenyum lebih manis karena mereka jadi tahu kalo selama satu Cawu ini mendapat contekan gratis. Sejak itu aku tak pernah melihat LKS Bahasa inggrisku itu lagi, konon dia sudah berkelana ke semua ruang kelas dan keluar masuk tas siswa siswi kelas 3. Tapi yang paling aneh adalah sejak hari itu aku tidak mengantuk di kelas bahasa inggris lagi.

Hujan masih cukup deras saat butirannya semakin menyakitkanku, rupanya hujan yang putih itu berubah menjadi hujan es. Wajahku perih saat butiran-butiran Kristal langit itu mendarat tepat di sana, mataku yang sedari tadi sulit melihat jelas semakin tak memungkinkan untuk dibuka. Awalnya aku kira dengan absennya angin dan petir akan cukup aman bagiku mengambil jalur pintasan. Lewat jalur itu aku bisa menghemat waktu sampai setengahnya dari yang biasa kita lewati kalau menggunakan jalan utama kampungku. Tapi di jalur pintasan itu ada pohon-pohon tinggi, jalanan berlumpur becek, jembatan dari sebatang pohon kelapa di atas sungai yang sedang banjir dan aliran air keruh di tengah jalan dari kebun yang lebih tinggi. Kalau cuaca begini kami tidak berani melewati jalur pintas itu takut ada pohon yang tiba-tiba roboh, terpeleset di jembatan apa lagi kalau sedang musim petir. Apalagi dengan adanya es-es ini aku terpaksa mengambil jalan memutar.

Nafasku memburu dan kakiku tak kurasakan lagi letihnya. Aku baru saja mengkristakan hatiku dalam satu tujuan di ujung jalan, aku ingin jadi pelaut. Wawan membawakanku selembar selebaran sekolah kejuruan pelayaran, dia sudah menyurvei lokasinya dan memiliki teman yang sudah bersekolah di situ. Aku terlalu gembira hingga tak bisa lagi merasakan lelah dan bahayanya berlari di cuaca seburuk itu. Yang ku tahu hanya aku akan meminta izin orang tuaku dan mulai belajar berenang. Masalah ujian masuk fisik tentu tidak masalah karena latihan bela diri cukup berhasil menempaku.

Sudah lama aku ingin berpetualang keliling dunia, lepas dari kampung yang semua penduduknya berbicara bahasa betawi, memasak makanan yang sama, tinggal di rumah dengan bentuk yang sama dan bahkan menikah dengan pasangan dari kampung yang bahasanya sama. Semua kegilaan itu adalah kesalahan Apotik SEJAHTERA di bilangan Jalan Pengadilan Bogor, setiap tahun mereka selalu memberi kami kalender berisi gambar-gambar pemandangan luar negeri yang Indah, gunung bersalju, pantai berpasir putih atau hutan tropis yang eksotis. Jika cuaca cerah dan awan-awan menggumpal di langit biru sering ku khayalkan diriku terbang melintasi awan dan mengobrol dengan orang-orang eskimo, menangkap ikan di Sungai Rhein atau berlatih Cross country di Pegunungan Rocky. Dan begitu melihat selebaran sekolah pelayaran itu seolah laut sudah terbentang dan kakiku tinggal melompat ke buritan. Semua tampak begitu Indah dan sempurna di benak seorang remaja.

Saat akhirnya tiba di rumah, ku lihat ibuku yang kaget melihatku basah kuyup. Ibu sedang hamil tua dan aku tidak ingin menyusahkannya, jadi aku tidak mengeluhkan apa-apa. Padanya aku berbohong kalau aku nekat menerobos hujan karena lapar yang tidak tertahan. Ibuku tentu sudah menyiapkan semuanya, nasi dan lauk pauk sederhana sudah menungguku di meja makan. Aku makan dengan lahapnya walau hatiku sudah terombang ambing goyangan kapal khayalan.

Malamnya sambil melipat-lipat ujung baju ku ceritakan pintaku pada Ayah. Aku hanya bercerita tentang betapa bagusnya sekolah pelayaran itu tanpa secuilpun menyinggung  betapa inginnya aku berpetualang keliling dunia. Ayah mendengarkanku sampai tuntas lalu dengan nafas berat tertahan dia  bertanya:

“Kalau kerja di Kapal nanti sembahyangnya bagaimana, Aa?”

Akupun sudah tahu cerita-cerita kabar burung tentang buruknya pergaulan di kapal dan bebasnya pergaulan mereka di pelabuhan. Ayah meringkas ketidak setujuannya dalam satu kata sakral untuk orang betawi : Sembahyang. Mempertanyakan bagaimana aku akan sholat bukanlah pertanyaan seputar fiqih sholat di atas kapal seperti bagaimana bersucinya, kiblatnya dll, ini tentang ketidak setujuan seorang ayah kepada anaknya yang didasari oleh ketakutan akan hilangnya agama si anak. Aku sepenuh jiwa memahami kekhawatiran itu, sepenuh nafas menyetujuinya tapi separuh hati juga pecah bersamanya. Sama seperti Kristal-kristal langit yang menerpaku sore itu, setelah begitu memukau, dia menyakitiku lalu hilang menguap begitu saja.

Mei 2003

                Ku masukkan semua baju, sepatu, alat mandi dan beberapa lembar uang lima puluh ribuan ke dalam tas besar itu. Ibuku mematung di muka pintu, ada kesedihan tertumpah melihat bujangnya akan pergi. Jadi aku diterima bekerja di sebuah perusahaan Grup BUMN di sekitar Pelabuhan Merak Cilegon dan harus mengikuti pendidikan beberapa minggu sebelum ditransfer ke Lokasi lain sepanjang Pantai Jawa. Cilegon bukanlah tempat yang ku inginkan dalam doa, cita-cita maupun khayalan kecilku. Walaupun lokasi plant di tepi pantai tapi Cilegon terlalu panas dan berdebu. Padahal aku inginnya bekerja di tepi pantai yang Indah bersama burung camar dan tinggal di kaki gunung yang sejuk berselimut kabut. Rupanya hingga mendapat pekerjaan dan harus mandiri, sisi kekanakanku masih saja ada.

                Ku sapu semua keraguanku meninggalkan Bogor bersama semua kenangan yang sebentar lagi akan benar-benar menjadi kenangan. Satu demi satu keraguan datang menggodaku untuk tetap tinggal di Bogor. Saat bis membawaku melintasi tol Jagorawi, satu demi satu kenangan berhamburan. Semua petuah dan ucapan selamat jalan dari senior, Paman, Bibi, Ustad, rekan santri dll silih berganti terngiang di telingaku. Tapi hanya ada satu kalimat yang terdegar jelas dari suara parau ayahku sebelum melepasku di Terminal Baranang siang.

                “Jangan lupa sembahyang ya, A!”           
Pasuruan, 12 Januari 2015

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya