Lipsing



hayya ‘alas sholaaahhh..” tanganku gemetar memegang mikrofon. Gemetaran membuat aku lupa pada bait selanjutnya, anak lelaki kurus di sebelahku yang juga gemetaran berbisik tak jelas membantuku mengingat-ingat.
“habis ini apaan?”
falaaah, falaah, belakangnya diganti falaah, To.”
Kami berdua menyadari dialog itu terdengar seantero kampung dari speaker yang dipasang di puncak menara. Kami berdua juga sudah bisa membayangkan si Abah pengurus masjid sedang memasang tampang seram sambil berjalan cepat ke masjid. Maka saat bait terakhir adzan selesai diteriakkan kami sepakat melarikan diri tanpa menunggu sholat ashar berjama’ah didirikan.
………………………..
Orang Betawi kampung seperti kami memiliki sebutan yang berbeda untuk dua jenis sekolah yang kami jalani. Sekolah umum yang mengajarkan ilmu duniawi seperti IPA, matematika, IPS dan PMP disebut sekolah laten. Sedangkan sekolah tempat kami belajar ilmu ukhrowi disebut sekolah agama atau di sebut juga madrosah. Di sekolah laten kami biasana jarang berpindah-pindah, sekali masuk akan istiqomah dijalani sampai selesai. Selesai di sini tidak selalu berarti lulus, ada kalanya kami lebih terpanggil membantu orang tua yang berekonomi lemah dengan bekerja sebagai kuli di Pasar, atau bagi yang putri menemukan seorang suami yang bisa menafkahi bisa juga menyebabkan selesai sekolah lebih cepat. Tak jarang surat undangan dari seorang siswinya membuat Guru kami menghela nafas.
Jika boleh ku ceritakan seorang siswi yang ceria wajahnya, cerdas pula otaknya dan bintang kelas di sekolah kami. Dia adalah andalan dalam lomba cerdas cermat dan sering mewakili guru kami membantu kami menyelasaikan PR yang terasa sulit. Kakak kelasku itu sangat sering jadi buah bibir di ruang guru, dan tak ada sedikitpun celanya di mata Bapak Ibu guru. Namun menjelang kelulusannya ada kabar dia menarik hati seorang duda kaya, kabar itu segera merebak dan dituntaskan dengan dikirimnya sebundel surat undangan ke sekolah. Aku tinggal sekampung dengannya, dan rasanya kami juga kehilangannya, satu SD membicarakannya dan entah kenapa ada rasa malu menggelayuti hatiku.
Selepas sekolah laten siangnya kami sekolah agama, tempatnya bisa berbeda-beda. Rekan sekelasku di SD tidak semuanya di sekolah agama yang sama, bahkan tidak semua ikut sekolah agama, tergantung bagaimana visi orang tuanya. Bagi Ayahku yang Pegawai negeri itu, melepaskan anaknya ke dunia nyata dengan ilmu umum saja sama dengan memesan kunci pintu neraka. Maka ayahku yang juga konon mantan santri kalong itu sangat sigap menyerahkanku ke madrosah, sesaat setelah aku naik kelas 2 SD aku langsung dicengkiwing (dituntun dengan sangat keras) ke pintu Madrasah Diniyah di kampung sebelah untuk belajar agama selepas dzuhur. Bukan hanya itu, selepas maghrib kami masih harus mengaji ke majlis ta’lim lainnya. Ayah juga begitu, memasrahkanku kepada seorang Ustadz muda untuk dibimbing lebih privat lagi selain dua sekolah di atas.
“Kalo si Aa kaga mau belajar, sabet wae, Mang! (kalau anak ini tidak mau belajar pukul saja, Paman!) ” begitu katanya kepada Mang Ajat yang walaupun pamanku sendiri namun tidak menyia-nyiakan wasiat tersebut.
Namun sebagaimana lazimnya lembaga yang dibangun dengan keikhlasan semata, banyak madrosah yang gulung tikar di tegah jalan. Sebenarnya SPP di sekolah agama sungguh tak mahal, tapi entah kenapa ada sebagian orang-orang tua betawi masa itu lebih takut kehilangan rokok sebungkus dari pada berinfak lebih kepada para asatidz yang membesarkan anak-anaknya. Jadilah bagi sebagian orang SPP sekolah agama lebih sensitif dari harga BBM, jika harga BBM dinaikkan orang akan ramai berdemo tapi tetap antri di SPBU namun jika SPP dinaikkan mereka bersungut dalam diam dan berhenti mengirim anaknya mengaji. Maka saat satu madrosah mengalami kemunduran Ayahku langsung bermanuver memindahkan aku ke madrosah yang lain. Untunglah pada masa itu jumlah ustadz dan madrosah masih cukup banyak, walau kami tidak pernah tahu apakah keikhlasan mereka juga masih tersisa cukup banyak.
Penggalan cerita adzan yang ku ceritakan di awal cerita sepertinya terjadi saat aku kelas 3 SD. Adalah Ayahku provokator di balik itu semua, atau dalam hal ini beliau bisa kita sebut sebagai motivator. Perbedaan dua kata itu menurutku terletak pada tujuannya, provokator menginginkan kerusakan bagi si korban agar dia bisa mengail di air keruh, sementara motivator berharap dari keruhnya air bisa keluar kemurnian yang bermanfaat bagi si korban. Tapi bagi korban, mereka akan sama-sama menderita, bagaimanapun akhir ceritanya, apapun nama sebutan pelakunya. Ayahku yang saat itu memperhatikan adzan ashar di masjid kampung kami sering kali telat dikumandangan memandang perlu mendidik generasi baru.
“Aa belum bisa adzan, Pah.” Aku menghindar sebisa-bisanya.
“Ajakin si Agus buat nemenin, entar dia yang ngasih tahu kalo Aa lupa.” Begitu jawabnya.
“Malu ah, sekampung denger semua. Entar Aa dikatain temen-temen.” Aku menegaskan peer pressure yang dialami anak kecil sebagai pembelaan.
“Emangnya kalo dikatain itu nempel di badan ya? Lagi juga paling berapa lama mau ngata-ngatain orang, lelaki mah jangan terlalu perasa!”
Dan terjadilah tragedi ashar itu, kawan.
Sudah diduga, teman-temanku langsung ramai komentar, aku jadi sangat menunduk kalau berjalan. Parahnya aku jadi tidak berani ke masjid lagi, takut benar bertemu si Abah ta’mir. Namun di situlah aku belajar perbedaan jenis-jenis motivator. Ada ayahku yang cenderung radikal dn tentu aku jadi mengetahui ada juga yang lembut dan menentramkan. Di madrosah ada seorang ustadzah yang rupanya mendengarkan kami adzan ashar itu, Kak Ningsih kami memanggilnya, di kelasnya dia membahas itu sekilas.
“Alhamdulillah, di sini ada yang sudah berani adzan di masjid. Memang masih ada salahnya, tapi wajar untuk pemula, Kakak juga ngajar ini masih banyak salahnya kok”. Namaku tidak disebut, tapi hatiku menghangat bersama wajahku yang memerah tertunduk dalam walau jiwaku berbunga-bunga.
“Kakak harap akan muncul Muazin-muazin baru yang tidak berhenti jadi muazin, lalu jadi Imam masjid, lalu jadi Mubaligh, lalu jadi Ulama besar. Semua diawali dari hal yang kecil seperti adzan ashar”. Dan sore itu aku bertekad untuk adzan sesering mungkin dengan atau tanpa disuruh Ayah.
Ayahku tentu senang aku menjadi semakin sering ke masjid, suara adzanku semakin sering terdengar dan semakin baik. Motivasi bisa datang dari jalan yang mungkin saja kita tidak sukai, bahkan kita bisa menganggap semua hal adalah motivasi. Sebenarnya kemiskinan bisa memotivasi kita agar rajin bekerja, nilai yang jelek memotivasi kita lebih kreatif dalam belajar, kegagalan memotivasi kita untuk mengevaluasi diri, dan lain-lain. Atau sebaliknya, apapun bisa kita anggap sebagai demotivasi. Kita menyerah saat nilai jelek dan terlena saat nilai bagus, kita menyalahkan takdir saat miskin dan berpoya-poya di masa kaya dan kita bisa menuliskan apapun, Kawan. Kata Syekh Yusuf Al-Qordhowi di suatu petikan yang aku baca bahwa kelak Allah SWT di Akhirat tidak akan bertanya kenapa kita gagal, tapi bertanya kenapa kita tidak berusaha.
Ayahku sering sekali memotivasiku keluar dari zona nyaman. Kalimat lelaki jangan cengeng, kalau ragu jangan dikerjakan,  bukan sekedar ucapan atau bacaan di buku bahasa Indonesia.  Beliau bahkan pernah meninggalkanku di acara uji nyali untuk membuktikan bahwa setelah kesulitan akan ada kesenangan. Ayahku memang radikal untuk beberapa hal.
Ceritanya mungkin saat aku kelas 3 SD diajak ke sawah untuk mengatur pengairan kebun kami di areal pesawahan yang luas sekali. Areal itu membentang dari Kampung ku di sebelah timur hingga Kampung Cimanggis di sebelah barat, jalan KH Soleh Iskandar di sebelah selatan dan Kampung Kencana di utaranya. Di area yang seluas itu kebun kami sebenarnya hanya setitik noktah dan itupun adalah milik saudara, kami hanya diminta bantuan menggarapnya saja. Saat itu malam jumat dan di televisi Dunia Dalam Berita sudah dimulai.
Setelah berjalan beberapa menit di tengah kegelapan malam kamipun tiba di persimpangan anak sungai. Ayahku langsung bekerja memacul untuk mengalirkan air ke kebun kami dan aku bertugas menyinarinya dengan senter. Beberapa lama kemudian ayah teringat kalau goloknya tertinggal, lalu dengan pertimbangan akan merepotkan kalau aku ikut pulang kembali maka beliaupun meninggalkanku sendiri di tengah malam, tengah sawah, beralas rumput beratap bintang dan beriring suara jangkrik. Menit demi menit berlangsung begitu lama dalam penantian, bintang gemintang begitu indah tapi hatiku penuh was-was. Bayangan film-film horror tahun 80an tentang Tukang sate yang didatangi seorang gadis cantik berusaha ku buang jauh dari kepalaku. Aku ingin berlari pulang tapi akalku mengatakan itu akan berakhir jauh lebih buruk, aku bisa saja terjatuh ke sungai lalu hanyut atau tersesat sampai pagi. Maka di situlah aku entah untuk berapa lama, duduk bersimpuh di pinggir saluran irigasi, berharap Ayah segera datang.
Setelah Ayahku datang dan membereskan pekerjaannya di sana kamipun pulang tanpa ku ucapkan sepatah katapun. Ada perasaan bahagia begitu kakiku menginjak lantai tanah rumah kami. Rumah kami yang belum dicat, lampu listrik temaram dan TV hitam putih harta kami satu-satunya nampak begitu indah. Tapi bukan itu saja bagian yang paling menyenangkan dari malam itu. Setelah membersihkan diri seadanya di kamar mandi ayah memanggilku untuk menonton TV. Dan film yang diputar malam itu berjudul Aladdin, dibintangi oleh seorang anak muda bertahi lalat yang kurus namun energik. Rasanya film itu melengkapi kegembiraanku pulang ke rumah.
………………………………………………….
Lapangan Olah raga SMAKBo sekitar pertengahan 1999.
Maka berdirilah aku hari ini berkepala botak, menyanyikan lagu sendu di depan api unggun penebusan dosa, melingkari api bergandengan tangan dengan anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua dengan pita warna coklat putih dan anak laki-laki yang serupa denganku. Acara api unggun ini mengakhiri penderitaan kami di pekan orientasi teraneh seumur hidupku. Acara yang memaksa kami mengukir di atas ubi rebus, menghitung biji kacang ijo, meminta tanda tangan kepada senior yang angkuhnya bukan kepalang dan yang paling memuakkan adalah menundukkan kepala saat berjalan dari satu ruang ke ruangan yang lain.
Tapi tidak semua hal di sana menyebalkan, di acara itulah aku jadi bisa menyanyi dengan benar. Paduan suara adalah kegiatan wajib bagi kami, aku yang di SMP sering menyanyi ditempa habis-habisan oleh senior yang tampangnya seram hingga yang tampangnya pasrah. Dan setelah berhari-hari latihan keras dari pagi hingga sore aku merasa suaraku sudah seindah Julio Iglesias atau semirip Boy zone dalam paduan suara. Tapi anehnya semakin keras aku menyanyi, semakin tinggi kepercayaan diriku, selalu saja ada senior datang mendekat. Senior yang berwajah kejam hingga yang berwajah sendu, mereka mendekatiku setelah menyanyi dengan satu pesan yang sama.
Maneh mah lipsing wae atuh!” (kamu itu menyanyinya lipsing saja!)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya