A Piece of Paper



Jumat pagi itu semua terasa baru dan menegangkan, ini memang hari pertama saya di Jawa timur. Selepas beristirahat di penginapan kecil depan terminal Purabaya kami bertolak ke PLTU Perak di ujung timur Surabaya. Saya yang hanya memiliki Suralaya sebagai satu-satunya referensi PLTU merasa terkejut karena ada PLTU seperti Perak ini, tidak sebesar dan semegah Suralaya memang namun lokasinya hanya sepelemparan batu dari pusat kota Surabaya.
Kami diberi tahu juga bahwa juru kunci (sebutan kami jika hanya ada satu orang saja yang mengoperasikan) Kimianya adalah seorang wanita. Dan saya  kaget saat yang disebut juru kunci itu datang menemui kami di tempat parkir mobil PLTU. Dengan potongan rambut yang macho, lengan baju kerja yag digulung, sepatu safety yang kasual dia berjalan cepat menghapiri kami, tubuhnya sangat bugar dan lengannya kelihatan kekar. Namun semua kesan maskulin itu runtuh seketika saat wajahnya yang bulat dan matanya yang lucu itu menyimpulkan senyum yang sangat ramah.
“Piye kabare, rek?”
Tentu saja dia belum tahu kalau kami berasal dari Tanah Pasundan. Dan itu adalah kekagetan saya yang pertama tentang tokoh yang satu ini. Saya ingin bercerita kali ini tentang dia si Ratu Kejutan. Wanita ini biasa-biasa saja, tapi beberapa tahun kami bekerja sama dia sudah berhasil mengejutkan saya berkali-kali dengan tindakannya.
Pertama
Sebagai juru kunci tentu dia tidak punya pengganti, rekan kerjanya yang disediakan perusahaan adalah teknisi dengan latar belakang non kimia. Maka sangat merepotkan jadi dirinya yang ponselnya tidak boleh mati kapanpun. Jika hal itu bisa diterima maka lain halnya dengan urusan pelatihan yang harus dilakukan di luar Surabaya, akhirnya manajemen memutuskan bahwa Sang Juru kunci harus menyiapkan pengganti. Di PLTGU Grati saat itu hanya ada saya dan kawan saya yang sama-sama dari Jawa barat yang memeiliki latar belakang kimia, kamipun dikirim secara bergantian ke PLTU Perak untuk mempelajari ilmu kimia PLTU.
Bagi teman-teman yang belum memahami kondisi ini, saya akan jelaskan secara sederhana saja. Setiap mesin pembangkit dioperasikan dengan treatment kimia yang mirip. Secara garis besar hukum kimia dan fisikanya sama, tapi bahan (material) yang digunakan membangunnya, spesifikasi alatnya dan pola operasinya pada akhirnya membuat metoda treatment kimianya pun berbeda. Apalagi plant PLTU Perak menggunakan teknologi tahun 1970an yang sangat berbeda dengan PLTGU Grati yang teknologinya 20 tahun lebih muda. Jadi kami walaupun sudah memahami metoda dasarnya tetap harus berlipat kening untuk membiasakan diri dengan pola yang  baru ini.
Dan di sanalah saya pagi itu, mengikutinya ke manapun dia pergi. Dari ujung pipa ke ujung pipa, dari satu valve ke valve yang lain, dari lantai dasar hingga CCR (Central Control Room) saya diperkenalkannya satu persatu. Tidak terlihat sedikitpun raut kelelahan dari wajahnya, senyumnya selalu mengembang renyah kepada teknisi dan operator di lapangan, dan saya tidak mampu mengimbangi keceriaannya sama sekali. Maka saat kami kembali ke Lab saya segera mengambil segelas air minum dari galon dan mencuci muka di wastafel untuk menghilangkan kelelahan. Lalu dia tanpa menoleh sedikitpun kepada air di galon berjalan ke lemari buku dan mengambil secarik kertas A4 dari printer.
Dengan pulpen di tangan kanan, di atas meja Lab dia menceritakan sistem PLTU Perak dan operasional kimianya dengan corean-coretan dari A sampai Z. Sebenarnya tidak sampai Z saya menyimak karena sepoi-sepoi angin dari AC rupanya bersekutu dengan sayup-sayup merdu suaranya menceritakan dongeng Kimia Pembangkit membuat saya pulas tertidur di sana. Tanpa mempedulikan guru yang bersemangat mengajar dan ilmu yang tak sedikitpun menempel, si murid kurang adab ini sudah menempelkan pipinya di meja dalam damai.
Saya terbangun dengan kekagetan luar biasa, saya sungguh menyesal, takut dan merasa sangat malu. Saya menatap AC penggoda di atas jendela, dia tetap berderit menghembuskan kesejukan seolah perbuatannya barusan tidak berarti apa-apa. Lalu saya menatap Ibu guru di meja pengawas di pojok Lab, siap saya menanti kalimat serapah, amarah yang akan tumpah dan hukuman yang wajar dijatuhkan kepada saya dengan pasrah.
Wis tangi toh, uenak men turune, rek!” matanya yang lucu, wajahnya yang bulat dan senyumnya yang khas.
Hanya itu saja kalimatnya. Lalu saya beringsut mengambil segelas air minum dari galon dan mencuci muka di wastafel lagi. Lalu dia kembali mengambil secarik kertas lagi, mencorat-coret gambar siklus air uap PLTU lagi, menderas rumus pembuatan larutan kimia dan segalanya dalam carikan kertas yang lain. Sementara saya terkaget dalam diam.
KEDUA
Dia konon bukan hanya Juru kunci Kimia tapi juga staff administrasi lain di bidang operasi. Rekan kerjanya yang lain bukannya tidak bisa, tapi senioritas memang di beberapa sisi bisa sangat membuat kita pintar dan lelah. Dia mengerjakan banyak hal, sukses di sini dan berhasil juga di sana membuat rekan kerja dan atasannya sangat mengandalkannya.
Di kelas, siswa cerdas yang paling bisa diandalkan guru sudah pasti adalah siswa yang lulus duluan, juara pertama dan kemungkinan besar penerima aneka beasiswa. Namun di dunia kerja hal tersebut sering kali berlaku sebaliknya, teringat seorang senior yang bekerja sebagai Analis Kimia di sebuah perusahaan asing di bilangan Jakarta timur harus menunjukkan surat pengunduran diri guna mendapatkan promosi dan naik gaji. Apakah dia tidak cerdas? Dan kadang kala begitulah dunia kerja kadang bekerja.
Begitu pula guru saya yang satu ini, wajah lelah yang saya lihat bukan tanpa sengaja. Kecekatan meramu larutan kimia bukan hanya karena dia cekatan tapi juga karena ada setumpuk pekerjaan lain yang harus dikerjakannya. Sementara di saat yang sama posisinya tidak beranjak juga dari Juru kunci kimia dan masih saja melayani saya belajar beragam tema. Saya hanya membayangkan betapa lelahnya menjadi manusia sabar. Saya mengatakan kepadanya walaupun dia tidak pernah menceritakan deritanya kepada saya.
“Kalau aku milih protes wae, Bu.”
Dan tentu saja dia selalu tersenyum sambil terus bekerja di meja pengawas sambil sesekali berdendang mengikuti lagu di radio tua di pojok Lab. Suara printer mengeluarkan kertas berlembar-lembar dan diapun berlalu menuju pintu sambil berkata sebelum tertutup pintunya.
“Aku jaluk tanda tangan Pak Bos disik yo, Har.”
                                                                 KETIGA                                                                
Bukan hanya dia yang berliku jalan karirnya tapi apa yang ditakdirkan Tuhan tidak akan bisa dimajukan atau dimundurkan oleh apapun barang sedetikpun. Dan demikianlah dia pagi itu mendapat promosi ke tempat kami, Lab Kimia yang seluruh punggawanya masih remaja ini diamanahkan kepada seorang pemimpin yang senior. Kami sejak 2009 mulai membangun sistem manajemen yang lebih baik namun sebagaimana mungkin dapat dibaca di catatan saya yang lain kami mengalami bottle neck dalam prosesnya.
Pagi itu saat dia pertama kali datang ke tempat barunya, melihat kami berkumpul di meja rapat dan tidak seperti pemimpin senior yang pernah saya alami sepanjang karir dia lalu membersamai kami begitu saja. Dia bergabung pagi itu, pagi besok dan seterusnya hingga tulisan ini diturunkan hanya tugas tertentu dan cuti saja yang menghalanginya dari bergabung dalam rapat pagi dengan rakyat jelata seperti kami. Lalu bottle neck itu mulai menghilang, ide-ide kami tersampaikan, perdebatan mulai diizinkan dan semua itu membuat saya bahagia. Mengingat lima tahun sejak rapat pertama saya dengan Mba Dhini di meja itu, baru kali ini satu Lab bisa duduk dan bicara sebagaimana seharusnya, dengan seorang pemimpin di tengah kami semua.
Allah SWT sungguh tahu kapan waktu yang tepat untuk segala sesuatu! Dan saya semakin bisa memahami bedanya Pimpinan dan atasan.
Seba’da rapat itu ada banyak hal yang berkembang, tidak selalu bagus tapi memberi Lab banyak warna baru. Bagaimanapun juga kejutan datang lagi, yaitu saat saya mendapatkan tawaran untuk pindah ke tempat baru ini, Knowledge management. 11 tahun karir kimia yang penuh dengan kerja keras, belajar mandiri, ide yang tak tersalurkan dan aneka rasanya membuat saya menjadi seorang yang kurang percaya diri. Saya malah lebih menikmati kerja di Tim Audit semata karena saya merasa bisa lebih bebas saja walau saya tahu tidak akan lama lagi saya di Tim itu.
Aku iki ora kompeten, Bu.” Saya mengingatkannya bahwa di antara teman selevel seangkatan saya merupakan salah satu yang terbelakang kenaikan pangkatnya. Dengan kerja keras saja saya masih mendapatkan penilaian jelek, maka demikianlah saya menilai diri saya akhirnya : Tidak Kompeten apa adanya.
“Ambil saja kesempatan itu, biar aku dengan Mba Dhini di sini!” Padahal belum setahun dia jadi atasan saya, dan lalu direlakannya saya meraih promosi itu begitu saja.
Sungguh sebagai murid saya takut tak mampu sekuat dan sesabar dia dalam menghadapi segala hal yang tidak menyenangkan hati. Tapi saya masih melakukan hal yang sama bertahun-tahun sejak pertama saya tertidur di Lab PLTU Perak siang itu, saya mengambil secarik kertas lalu menggambarkan isi kepala sebagai sebuah sistem kepada siswa-siswi yang diamanahkan kepada saya. Mungkin saja materinya tidak lagi tentang Kimia, tapi dalam banyak hal secarik kertas itu adalah metoda kami yang mungkin akan diwariskan lintas generasi.
Saya punya banyak guru, ada yang sedemikian hebat hingga gaya mentoringnya adalah tentang apa yang bisa saya capai dan seberapa tinggi saya mampu terbang. Dan yang satu ini adalah tentang bagaimana sabar tanpa mengucapkan kata sabar dalam kalimat politis. Mengajarkan bagaimana ridha pada keadaan tanpa menggamit ayat suci lewat lisan yang sentiasa beroleh semua permintaan dan penghargaan. Dan jika ada yang bertanya tentang dia saya akan menjawab :
“Dia salah satu dari guru saya.”
Wallaahua’lam..
                                                                                                                                                      Pasuruan, 7 September 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya