Cermin pun dibawa ke Bali



Panas dan Gelap di Dalam Kabin..
Awal April lalu saya ditugaskan mengikuti tugas belajar di salah satu unit cabang perusahaan di Denpasar. Maka saya pun mencari-cari informasi tentang transportasi ke sana yang aman, murah, nyaman dan ontime. Dapatlah saya kombinasi yang kelihatannya mujur, murah dan cepat, yaitu berangkatnya menggunakan travel dari Malang dan pulangnya menumpang citilink ke Surabaya lalu lanjut ke Malang lewat jalan darat. Murah, total biaya tiket hanya  450 ribu dan cepat karena survey menyatakan travel itu selalu sampai Denpasar sebelum jam 9.00 WITA.
Namun survey tinggallah survey, travel yang dijadwal menjemput saya di rumah mertua jam 5 sore baru datang nyaris jam 7. Untunglah walau sambil ketar-ketir saya masih sempat melaksanakan solat magrib. Untungnya lagi istri saya sangat cekatan, begitu melihat gelagat jemputan terlambat segera memasak telur mata sapi yang segera tandas bersama dua piring nasi panas. Walaupun jemputan datangnya telat, jam makan saya harus selalu tepat, guna menghindari maag yang suka kumat, lewat ketelatenan istri solihat.
Rupanya datang telat itu baru pembukaan saja, ibaratnya baru appetiser-nya. Karena begitu sampai di Pool, perwakilan travel memberitahukan bahwa AC mobil bermasalah. Kami ditawarkan potongan harga 10ribu untuk perjalanan Malang-Denpasar tanpa AC. Demi masa, maksudnya demi mengejar waktu kamipun para penumpang memilih untuk setuju saja. Saya yang duduk di samping kaca terpaksa membuka tutup jendela sepanjang jalan yang panjang untuk memnyesuaikan suhu di dalam kabin.
Ternyata lagi, telat adalah pembangkit selera, AC mati jadi menu utama, tahukah kamu apa saladnya?
Sampai di Situbondo, di pemberhentian makan malam, supir kami tidak ikut turun. Saat saya menghabiskan sepiring rawon yang rasa dan aromanya membuat saya makin cinta sama istri, solat isya dan mengisi ulang batere HP, sopir kami tidak kelihatan sama sekali. Sambil jalan mengelilingi Pom bensin yang mirip cottage itu saya menemukan sekumpulan pria gempal berkumpul di bawah sinaran lampu di sudut mobil kami. Rupanya bukan hanya AC yang mati, batere aki mobil jemputan kamipun juga kurang tenaga. Akibatnya kami terancam meneruskan perjalanan dalam gelap gulita. Terbayang jalan antara Situbondo-Ketapang yang banyak dinaungi hutan dan dipagari laut itu betapa seram gelapnya. Syukurlah usaha para sopir itu tidak sia-sia, kami melanjuntukan perjalanan dengan lampu menyala.
Namun belum sampai Ketapang, di tengah jalan antah berantah lampu depan kami mati semua lagi. Maka lengkaplah hidangan makan malam di travel ini. Badan saya yang semakin manja ini sudah disogok Tolak angin cair untuk yang kedua kali. Keringat sudah ngajibrug sekujur badan, pegal dan kram bercampur jadi satu dengan rasa ngeri melihat sopir tetap melaju kencang di jalan yang gelap ini. Ngerinya menjadi-jadi kalau kami sedang mendahului kendaraan yang lebih lambat di depan lalu kendaraan-kendaraan yang rata-rata truk dan bus besar mengedim kepada kami dari jalur berlawanan. Tapi karena itulah justru muncul kepasrahan kepada Tuhan, yang dalam kepasrahan itu saya tertidur pulas sekali.
Akhirul kata, jam 9 WITA kamipun tiba, di Tabanan, Bali. Masih dua jam menuju Denpasar dan entah berapa menit sisanya ke kantor cabang tujuan. Tidak cukup dengan hidangan makan malam, travel kami menambah satu lagi servisnya yaitu sarapan pagi. Sarapan paginya adalah mogoknya mobil kami di tengah-tengah kota Denpasar pada jam 11 WITA. Lengkap sudah semua menu semalaman ini. Karena tak ingin berpanjang angan lagi, sayapun menyetop Taksi, menembus kemacetan Denpasar dan tiba di kantor dengan kelelahan fisik mental yang berlapis-lapis.
Nisbinya Rasa Hati..
Karena Joy flight SSJ 100 berakhir celaka di Bogor itu diblow up sedemikian rupa oleh media, saya mengalami sedikit trauma, takut terbang. Sungguh, bahkan istri saya pun tidak tahu, kalau setiap kali take off dan landing tak henti saya merapal doa. Berita tragedi itu luar biasa penetrasinya, Ayah saya yang bekerja di salah satu kesatuan yang menyediakan SAR itu juga ikut bercerita tentang operasi kawan-kawannya di Gunung salak, apalagi saya yang menghabiskan cukup waktu remaja di lereng-lerengnya seperti punya hubungan batin dengan Gunung kebanggaan Urang Bogor itu, dan itu menambah-nambah rasa takut saya.
Andai bukan karena efektifitas, saya akan memilih kereta api atau bis ke manapun pergi. Awalnya saya sangat suka perjalanan darat, utamanya di jalur-jalur yang baru atau belum pernah saya lewati. Saya menikmati setiap detil jalannya, budaya masyarakatnya lewat bentuk bangunan, makanan kecil maupun bahasa masyarakatnya. Namun sejak 2005 rasanya globalisasi merengsek ke mana-mana. Kalau dulu rumah-rumah di daerah Cimahpar dapat kita lihat dari Jalan tol Jagorawi memakai seng dan plastik untuk uwung-uwungan rumahnya. Kini baik di Malang, Sidoarjo ataupun di Cimahpar, rumah yang dibangun modelnya sama. Kalau dulu Tahu sumedang hanya bisa ditemui di sepanjang jalan Jawa barat. Sekarang ini bahkan Ubi Cilembu dan colenak ada di Lawang, Malang. Jadilah jalur darat Surabaya- Jakarta misalnya tidak menarik lagi. Apalagi harganya semakin mirip dengan pesawat LCC yang memberi diskon waktu tempuh sampai 75 %.
Rasa takut saya naik pesawat sebenarnya masih belum sembuh benar. Setiap harus naik pesawat mendadak maag saya kambuh dan saya jadi banyak sekali berdoa, sejak berangkat dari rumah hingga terminal kedatangan bandara tujuan. Tapi setelah semalaman diservis travel Malang-Denpasar begitu rupa tekad saya untuk naik pesawat tak tertahankan. Kami tiba di bandara empat jam sebelum jadwal take-off dan saya menghabiskan waktu dengan mengobrol ke sana ke sini. Biasanya saya suka berdiam diri di musolla atau lorong ruang tunggu sambil membaca buku. Tapi di Bandara Ngurah Rai kemarin keduanya tidak mungkin dikerjakan. Musollanya lebih kecil dari kamar tidur saya dan buku yang saya bawa hanya buku engineering.
Lalu saat pesawat take-off sampai landing saya tidak ketiduran seperti biasa, saya berdoa dengan kepasrahan seperti biasa tapi saya sungguh-sungguh menikmati perjalanan ini. Saya menikmati momen saat pesawat meninggalkan Pulau Bali di malam hari. Gemerlap lampu-lampu di sepanjang garis pantai Kuta yang kemarin saya nikmati tampak indah dilihat dari dalam kabin penumpang citilink yang sejuk. Tak ada rasa takut berlebihan, trauma terbang yang menghantui begitu lama ternyata kalah oleh trauma pelayanan travel Malang-Denpasar.
Sejatinya bulan-bulan ini adalah saat di mana motivasi saya mungkin berada di titik kritis. Di kepala saya terbayang lagi saat-saat awal meniti karir, ketika motivasi saya cukup untuk meredupkan sinar rembulan kegalauan. Pada masa saya bekerja keras dalam kondisi serba kekurangan, kurang istirahat, kurang gizi dan kurang sehat. Jam kerja yang panjang dan bobot kerja yang juga saat itu terasa begitu berat. Saya melaluinya dengan perkasa, mulut terkunci dan tangan bekerja sementara kaki lincah bergerak ke sana ke mari.
Tak sedikitpun omongan orang saya dengarkan, entah pujian dan banyak sindiran berlalu begitu saja. Saya seperti Soda api yang dititrasi asam asetat encer saat itu. Saat itu saya merasa sudah bekerja keras dan bekerja cerdas dalam satu waktu. Berbagai alasan bisa disebuntukan, dimulai dari kenyataan bahwa saya adalah satu dari sedikit orang yang tidak bisa berbahasa jawa dalam radius 1 Km2 hingga biaya kuliah adik saya, semua alasan yang membenarkan motivasi bekerja rasanya ada.
Lalu tiba saat penghakiman, dalam selembar kertas yang ditulis semesteran, kinerja kami dituangkan. Nama saya ada di situ, dalam deretan dua terbawah. Itulah saat semangat soda api itu disiram asam sulfat, panas dan meleleh. Lalu tahun-tahun berikutnya saya tak lagi bernafsu melihat isi raport semesteran itu dan bekerja apa adanya. Tak lepas dari nasihat seorang kawan bahwa penilaian kinerja bersifat jangka panjang.
Kini, bertahun-tahun telah berlalu. Beberapa hal telah terjadi dan saya masih tetap tidak memperhatikan raport itu setiap semester. Hingga suatu siang hampir setahun yang lalu seorang kawan menyatakan dengan riang bahwa karirnya telah menyalib saya. Saya terperangah dan sadar bahwa satu petik garis berarti selisih pendapatan, terakumulasi setiap tahun dan tidak mungkin bisa dikejar lagi. Tusukannya makin dalam karena beberapa atasannya malah suka sekali meminta bantuan saya untuk pekerjaan si Kawan.
Saya tidak pernah membenci kawan-kawan yang lebih beruntung itu. Juga tidak pernah ingin mempertanyakan keberuntungan mereka. Saya hanya tertegun menyadari kalau pH larutan soda kaustiknya semakin mendekati 9. Di akhir hari saya membenci diri saya sendiri dan memilih bercerita kepada istri saya walau saya tahu itu akan melukai hatinya. Saya tahu dia akan selalu mendukung saya, lewat doa-doa dan aneka lowongan kerja yang dishare oleh kawan-kawannya yang lebih beruntung dari saya. Tentu kepada Tuhan tak kurang-kurangnya saya bertanya...bukankah Dia Maha segala-galanya?
Pada kondisi semangat yang hampir titik akhir titrasi itulah saya dikirim untuk tugas belajar ke Bali. Saya mengikuti semua kelas dan penugasan dengan antusias hanya karena saya memang menyukainya, urusan semangat, visi dan budaya kerja itu jauh dari jangkauan sudah. Lalu BB saya berdering, sebuah pesan singkat masuk. Seorang kawan yang tahun lalu menjadi begitu beruntung mengadukan kesusahannya. Adanya perubahan organisasi membuat dia merasa posisinya terasa terancam. Saya hanya menyimak pesan-pesan bernada pesimis itu dengan prihatin saja. Lalu dia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan saya. Dia merasa saya selalu ada di mana-mana dan selalu pergi ke mana-mana. Dan itulah rasanya soda api ditaburi caustic potash.
Saya tersadar bahwa selama ini saya lebih beruntung darinya. Memang mungkin saja karir berjalan terasa lebih lambat tapi tidak dengan kompetensi. Tanpa disadari saya telah dilatih sedemikian rupa hingga saat kawan-kawan itu berpesta merayakan kemenangannya saya terjebak dengan dokumen-dokumen lingkungan dan Proper. Saat yang lain pulang ke rumah dengan oleh-oleh di tangan, saya membawa dokumen audit. Sengaja ditenteng ke mana-mana supaya bisa dipelajari kapan saja. Belum cukup pusing dengan itu ada pekerjaan lain yang butuh diselesaikan, padahal saya teknisi biasa. Syukur walhamdulillah, semua bisa diselesaikan dengan manis.
Tuhan tidak memberi saya angka-angka untuk dinikmati tapi untuk dipelajari dan dikerjakan sebagai pembinaan. Sementara orang melihat saya dalam rajutan keberuntungan, saya malah menggerutu membangun benteng kesusahan. Sayalah, bukan orang lain yang membuat diri saya tidak bahagia. Seperti pengalaman di travel Malang-Denpasar yang membuat saya bisa menikmati pesawat terbang. Pesan singkat kawan saya itu berhasil mengubah pandangan saya pada jalan hidup saya sendiri.
Kita memang selalu butuh cermin, untuk jujur melihat diri, yang harus dibawa walaupun sampai ke Bali.
Wallaahua'lam.
090413

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya