Mau Dirikan Khilafah? Mulailah Dari Sekarang!
Oleh :Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA
Salah satu yang membuat kita berdecak
kagum kepada sejarah umat Islam dalam masa-masa khilafah Islamiyah adalah
persembahan yang diberikan tiap khilafah itu kepada umat manusia. Salah
satu persembahan yang utama adalah jaminan pendidikan dan kesehatan buat semua
orang, bukan hanya umat Islam, tetapi semua pemeluk agama.
Perguruan Tinggi di dunia Islam sejak
dulu tidak pernah memungut bayaran dari para mahasiswanya. Sebaliknya, semua
mahasiswa malah mendapatkan gaji dan tunjangan dari kampusnya. Baik kampus itu
milik negara atau pun milik swasta. Maka tidak heran kalau dunia
pendidikan saat itu sangat maju dan berkualitas. Sebab semua orang yang ingin
belajar, mendapatkan bantuan dari semua pihak. Bukan saja dari negara, tapi
dari semua elemen masyarakat. Dan gratisnya pendidikan adalah ciri
sebuah khilafah Islamiyah.
Kalau hari ini ada keinginan untuk
mengembalikan lagi khilafah, rasanya sangat tepat kalau ciri-ciri itu kita mulai
lebih dahulu. Agar orang tahu, bahwa mendirikan khilafah itu memang ada
manfaatnya yang langsung bisa dirasakan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi
juga orang pemeluk agama lain. Sayangnya, nyaris semua kampanye untuk
kembali kepada khilafah saat ini, berhenti hanya sebagai slogan kosong tanpa
makna. Kalau cuma bicara doang, semua orang juga bisa. Tapi yang
dibutuhkan adalah bukti nyata, amal, kerja, prestasi, hasil, manfaat yang real.
Bukan hanya janji-janji kosong bak calon anggota legislatif. Kalau nanti saya
terpilih, saya akan begini dan begitu. Kalau nanti khilafah sudah
berdiri, nanti kita akan begini dan begitu. Kalau ada khilafah nanti kita akan
makmur. Kalau nanti ada khilafah ... kalau nanti ada khilafah . . . . Hmm
menurut saya itu malah terbalik.
Seharusnya jangan pakai slogan 'kalau
nanti'. Semua orang juga bisa bicara bila modalnya cuma 'kalau nanti'. Hitler,
Musolini, Lenin dan Stalin juga suka bicara 'kalau nanti'. Ciptakan dulu
kemakmuran, setidaknya di kalangan yang terbatas, sehingga semua orang tahu dan
melihat langsung buktinya. Baru nanti semua orang akan melirik dan melihat
langsung. Kemudian orang akan mengambil kesimpulan.
“Ooo, mereka itu makmur karena mereka
menerapkan syariat Islam, yang kalau semakin besar, akan menjadi khilafah”.
Sebab masyarakat semakin cerdas, mereka tidak suka janji dan mimpi, mereka
lebih paham bukti yang hakiki.
Saudara-saudara saya yang sangat getol
mengkampanyekan tegaknya khilafah itu rupanya bingung harus mulai dari mana
perjuangan mereka itu. Persis orang yang bingung, mana duluan, telur atau ayam.
Padahal contoh dari Nabi SAW itu jelas sekali. Tidaklah Madinah itu didirikan,
kecuali kalau sudah ada muhajirin dan anshar. Artinya, tidak mungkin khilafah
Islam itu berdiri, kalau tidak ada umatnya.
Loh, 1,5 milyar ini apa bukan umat?
Benar, mereka itu umat. Tapi umat yang
tidak berhak memiliki khilafah. Karena mereka umumnya tidak kenal agama Islam
yang dipeluknya sejak lahir. Yang mereka kenal sekedar ritual-ritual tanpa
makna. Karena faktor keturunan saja mereka sekarang secara formal beragama
Islam.
Benar, mereka itu umat. Tapi mereka tidak
bersatu seperti 15 juta orang yahudi di seluruh dunia. Mereka lebih suka hidup
berkelompok-kelompok sambil asyik saling mengejek dan menjelekkan satu sama lain,
sembari membanggakan kelompok mereka sendiri. Setiap partai membanggakan
apa yang mereka punya. Setiap jamaah merasa paling unggul dengan prestasinya.
Setidak ormas merasa paling berjasa dengan karyanya. Setiap gerakan merasa
paling populer dengan nama besarnya. Setiap murid merasa paling benar dengan
fatwa ustadznya.
Benar, mereka umat. tapi mereka juga
belum lagi menerapkan syariah dalam pribadi dan keluarga mereka. Bahkan mereka
pun belum lagi mengerti detail-detail syariah. Karena mereka tidak pernah
belajar ilmu syariah secara serius. Latar belakang pendidikan mereka tidak lain
adalah ilmu-ilmu milik orang kafir yang sekuler. Ilmu-ilmu keislaman
yang mereka punya sangat terbatas, dangkal, dan sebisa-bisanya saja. Tidak
mengambil dari sumber ilmu itu sendiri secara matang dan serius.
Benar, mereka umat. Tapi apa yang mereka
makan, tidak tahu halal haramnya. Apa yang mereka minum, juga tidak tahu halal
haramnya. Apa yang mereka pakai, juga tidak tahu halal haramnya. Apa yang
mereka dapatkan dari rejeki, juga tidak pasti halal haramnya.
Benar, mereka umat. Tapi mereka tidak
tahu siapa yang jadi mahram dan siapa yang bukan. Mereka tidak tahu cara bagi
waris yang diajarkan Rasulullah SAW. Mereka tidak tahu bahwa mengucapkan talak
kepada istri walau cuma main-main ternyata jatuh juga. Mereka tidak tahu kalau
wanita yang ditalak suaminya itu ada masa iddahnya dan tidak boleh keluar dari
rumah suaminya.
Benar, mereka umat. Tapi mereka tidak
tahu bahwa macet di jalanan kota Jakarta itu tidak bisa dijadikan alasan untuk
menjama` shalat. Dan bahwa menjama` shalat itu tidak boleh dilakukan setelah
sampai di rumah, karena sudah bukan musafir lagi.
Dalam keadaan yang sangat awam dan parah
dalam keawaman itu, rasanya masih mimpi kalau kita bicara tentang tegaknya
khilafah islam. Sebab keawaman-keawaman seperti itu tidak pernah terjadi di
masa tegaknya khilafah Islam selama 14 abad ini.
Dan tidaklah khilafah Turki Utsmani
runtuh di tahun 1924 yang lalu, kecuali karena umat ini semakin awam dan
terlalu awam dengan syariah Islam. Maka kalau kita bercita-cita ingin
mengembalikan lagi khilafah Islamiyah seperti itu, langkah pertama yang harus
ditempuh adalah kita wajib menghidupkan kembali ilmu-ilmu keislaman, sehingga
seluruh lapisan umat yang 1,5 milyar ini MELEK syariah.
Bukan cuma melek, tapi sampai paham,
mengerti, nyambung, tahu, ngeh, dan ngelotok. Kemudian mereka menerapkan
syariah itu, minimal mulai dari diri sendiri, kemudian di dalam lingkungan
terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Dan seterusnya sampai masyarakat, negara
dan dunia.
Jangan sampai ada orang yang
teriak-teriak mengajak untuk mendirikan khilafah, tetapi dirinya sendiri
malah tidak mengerti detail syariah Islam. Kampanye menegakkan syariah, tetapi
justru si juru kampanye malah tidak bisa berbahasa Arab. Lalu bagaimana mau
merujuk merujuk kepada turats
(warisan) ilmu-ilmu keislaman yang asli, kalau tidak bisa bahasa Arab. Apakah
kita akan membangun syariah Islam pakai literatur dari Barat berbahasa Inggris?
Bukankah justru malah jatuh ke pangkuan sekuler dan liberal?
Jangan sampai dia malah orang yang masih
belajar mengeja huruf Al-Quran, atau baca Quran tidak fasih yang hanya bikin
kuping jadi kesemutan.
Katanya mau mendirikan khilafah, lha wong
baca Quran aja termehek-mehek gitu kok? Apalagi baca kitab turats para ulama,
alih-alih bisa paham, paling banter dituduh salah cetak.
Kenapa begitu? Karena bicara khilafah
artinya bicara berjuta bahkan bermilyar pekerjaan besar. Dan semua itu
harus sudah dimulai sejak sekarang, bukan menunggu kalau khilafah sudah
berdiri, baru mau kerja. Salah satu pekerjaan rumah itu ya belajar dulu deh
baca quran yang fasih, tanpa salah, dan enak didengar. Kalau itu saja masih
belum dikerjakan, terus mimpi bikin khilafah, waduh . . .
Pekerjaan lainnya ?
Ya, itu tadi. Gimana caranya kita bisa
punya kampus dan rumah sakit yang gratis. Sebab di masa khilafah dulu, semua
kampus dan rumah sakit memang gratis, baik yang negeri atau yang swasta.
Dan untuk punya kampus atau rumah sakit yang gratis, tentu tidak harus menunggu
khilafah berdiri dulu. Sebaliknya, justru keberadaan kampus dan rumah sakit
gratis itulah yang akan membuat orang-orang tertarik ikut mendirikan khilafah.
Karena memang ada manfaat yang nyata dan langsung bisa dirasakan umat. Bukan
sekedar kampanye dan omong kosong.
Catatan Harry :
Tulisan ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman facebooknya di http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.
Gambar dapat dilihat di http://ballli.webs.com/apps/blog/show/prev?from_id=4392341
Komentar
Posting Komentar