My 1st Mistakes : The First from The First


Menurut saya pada awalnya bekerja dengan baik adalah salah satu cara untuk bisa kembali ke Jawa barat. Tinggal di kampung orang, tanpa memahami sepenggal kalimatpun sangat tidak menyenangkan. Oleh karena itu di buku catatan harian saya menuliskan motto hidup sementara : "One step ahead !". Hanya satu langkah saja tergetnya karena saya bekerja dengan seorang rekan sesama kimia dari Bandung. Menurut pemikiran saya tentu saja tidak mungkin kami berdua bisa dipulangkan semua, jadi sebagaimana kisah rusa dan singa, ini adalah perlombaan siapa melangkah lebih cepat.

Namun pemikiran semacam itu membuat saya jadi sangat kompetitif. Saya melahap habis buku-buku kimia di plant, mengulang-ulang hampir semua metoda pengujian dan perhitungan teknis kimia demi satu langkah di depan. Saya rela menghabiskan malam-malam panjang di plant dalam lembur yang tidak dibayar, membantu orang lain dalam pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan kimia dan mengikuti operator-operator senior bekerja untuk mempelajari lebih dalam pekerjaan ini. Orang lain boleh mengetahui 10 point asal saya mengetahui 11 point. Target saya yang sangat jelas, lawan saya yang ada di depan mata dan impian saya untuk pulang kampung membentuk saya menjadi berbeda. Bukan hanya berbeda dari sang tandem tapi berbeda dari siapapun di Lab. Saya msh ingat penilaian atasan langsung saya yang menyatakan saya adalah "orang yang sangat kurang dalam hubungan tapi sangat dapat diandalkan dalam kondisi tertentu". Sebuah kalimat retoris untuk menyatakan betapa ironisnya saya di matanya.

Tapi perlahan tapi pasti saya menyadari juga kalau sistem SDM yang ada memang tidak mengakomodasi orang-orang gila seperti saya. Jangankan mengirim saya pulang kembali ke barat, memberikan nilai tambahpun juga tidak. Hanya saja sifat kompetitif itu ternyata seperti candu, saya masih saja bekerja dengan model seperti itu selama beberapa tahun. Saya kira awalnya itulah yang namanya Ikhlas, ternyata saya salah.

Selembar Real yang Wangi

Dari depan terminal baru Pasuruan kami berdua berlari-lari sore itu berkejaran dengan hujan gerimis. Saya mengikutinya dari belakang setelah bis kantor menurunkan kami di pinggir jalan untuk berpindah ke bis umum tujuan Malang. Di kursi kayu panjang terminal kami berdua tidak banyak bicara, kawan saya yang satu itu memang pendiam. Dia mengeluarkan dompet dan memberi saya selembar uang. Tadinya saya berharap itu mata uang Australia atau semacam kartu kenangan dari kampusnya di sana, ternyata itu selembar uang Riyal Saudi.

Saya mengucap terima kasih lalu dia bercerita sedikit tentang pengalamannya naik haji dan sekolah di luar negeri. Saya tidak bisa melewatkan cerita itu dari terminal sampai bis melaju ke Malang, bagaimanapun berpetualang untuk sekolah ke luar negeri adalah salah satu mimpi saya yang belum padam.  Sambil mendengar ceritanya saya memandangi uang itu dari dekat, nampak wajah seorang laki-laki bersorban arab itu tersenyum begitu gaya seolah bertanya : "kapan mau mampir, Har?". Lalu mendadak uang itu jadi wangi sekali. Kelak saya tahu bahwa jangankan ke luar negeri, mimpi kembali ke negeri asal sayapun tidak terwujud dalam kurun waktu yang disebutkan.

Uang real itu, cerita-ceritanya, gantungan kunci dan kaos gambar benua itu hanya awalan saja. Belakangan dia memberi saya banyak sekali  e-book, aneka materi yang lengkap segera berpindah tangan dari Engineering sampai politik. Buku-buku itu saya simpan di laptop yang saya baca setiap kali saya susah tidur di malam hari. Jadilah saya penderita insomnia yang produktif. Lalu tiba-tiba sayapun kecanduan hal baru, buku-buku itu membuat "one step ahead" jadi kelihatan usang. Maka sejak sore hujan itu saya punya kata-kata baru "To deliver more solutions". Dan dialah orang yang mementoring saya menemukan banyak jawaban.

Satu-satunya yang Gagal

Kalau ada yang tanya apa yang paling saya sukai dari masa-masa sekolah, mungkin jawabannya adalah seminar. Allah SWT memberi saya kelebihan di bidang itu, lewat pelatihan mengajar beberapa tahun di majlis ta'lim depan rumah, saya adalah orang yang tidak ragu menatap lawan bicara. Maka semua wawancara yang pernah saya ikuti biasanya berakhir manis. Wawancara tugas akhir berakhir jabat tangan kelulusan, wawancara penerimaan kerja berakhir ke telepon panggilan kerja dan wawancara dengan calon mertua berujung di akad nikah. Hehehe...

Kecuali wawancara yang satu itu : wawancara jabatan.

Sejak kegagalan wawancara itu saya merasa benar-benar gagal. Kalau di tempat yang paling kita kuasai saja kita gagal, maka saya merasa tidak punya tempat lagi. Semakin menohok saat saya tahu bahwa kegagalan saya diiringi oleh kekalahan yang lain sebelumnya. Bagaikan sebuah deret, di mana nilai kinerja, inovasi dan kepangkatan saya juga setali tiga uang dengan hasil wawancara itu. Saya baru menyadari kalau rupanya saya terlalu asyik mengebut di jalur yang sepi dan gagal mengantisipasi arah angin.

What is Your Passion?

Saya menghabiskan banyak waktu tidak produktif untuk menyelidiki kegagalan saya di wawancara itu. Setiap satu tabir keterangan terbuka sepuluh pintu hati saya tertutup. Buku-buku engineering, audit, sistem manajemen, agama dan terutama buku kimia sudah tidak menarik lagi. Saya kehabisan bensin di jalan yang becek, ban belakang terperosok lubang dan tidak bisa ke mana-mana. Semakin saya injak gas, semakin dalam ban itu menggali lubang, semakin habis bensinnya juga.

Dalam kebuntuan itulah seorang junior saya di Lab berbicara tentang passion, pembicaraan konyol ini diawali oleh sentilan kawan sebelah ruangan sebelumnya. Junior itu, Aris namanya, mengatakan bahwa passion-nya sepertinya bukan di Lab. Mungkin itu yang menyebabkan emosinya relatif datar saat teman-temannya di unit lain sudah mendapat promosi sementara dia masih berkubang di tempat yang sama, wallaahua'lam. Aris memang cenderung meletup-letup tapi karena itulah saya tahu dia bisa dipercaya. Setiap shift malam hampir berakhir saya tahu dia suka membersihkan wastafel, merapikan barang-barang dan beberapa hal yang mustahil dilakukan beberapa jenis  penipu yang pernah saya kenal. Lalu mendadak kata "passion" itu mengikuti saya ke mana-mana.

Walau demikian si "passion" ini bergerilya, tak urung hati saya masih belum bisa berdamai juga. Maka dalam doa saya memohon agar Tuhan menukar hati saya dengan yang hati baru atau menukar pekerjaan saya dengan yang lebih baik. Saya tidak tahu rencana-Nya, saya hanya tahu betapa berat penderitaan ini. Bukan lagi tentang wawancara yang gagal, tapi tentang semangat yang hilang meninggalkan begitu banyak kekosongan di dalam dada. Saya patah hati dalam pengertian yang aneh.

Mata Hati yang Rabun

Sampai pagi itu tatapan teduh matanya tidak berkurang saat dengan emosi datar dia bercerita perjalanan karirnya. Kala dia dikirim untuk menuntaskan beberapa pelanggaran di salah satu kantor cabang dan menghadapi aneka perlawanan. Saya bertanya bagaimana dia menghadapi semua persoalan yang pasti berada di luar jangkauan itu, bagaimana bisa begitu kuat, bagaimana bisa begitu nekad. Dia menjawab : "Saya kan punya Allah!".

Setiap kita didorong oleh visi yang kita bawa, pada saat yang sama visi itu memancing kita untuk melampauinya. Agama kita menjamin bahwa setiap lelaki yang melangkahkan kakinya keluar rumah untuk mencari nafkah yang halal untuk keluarganya sudah ditulis sebagai ibadah. Tapi apakah niat kita hanya serendah itu? Semata nafkah halal kah? Pantas kalau begitu umat islam begitu jumud sekarang ini.

Dunia ini sepenuhnya adalah ladang akhirat yang kita sendiri bebas memilih mau sebesar apa ladang garapan kita. Jika proyeksi hanya sebatas sebuah promosi maka pantas untuk kecewa bila promosi itu kemudian diganjal oposisi. Tapi benarkah niat saya bekerja hanya untuk sebuah promosi?

Pembicaraan itu sebenarnya singkat saja, kurang lebih sama dengan durasi obrolan di terminal dulu. Tapi setelah diskusi itu selesai niat awal saya untuk minta bantuannya pupus seketika. Saya diajak bermuhasabah tentang point pertama yang menjadi rukun dari tiap ibadah, yaitu niat. Jabatan itu setinggi dan serendah apapun hanyalah wasilah bagi sebuah tujuan. Dunia itu selalu saja menipu dengan aneka hiasan dan kejayaan palsu. Yang akan abadi adalah sesuatu yang murni. 

Benarkah saya begitu inginnya naik?

Apa yang menyebabkan saat tangganya diambil orang saya menjadi turun?

Begitu rendahnya kah saya hingga saya butuh kursi yang tinggi untuk berkreasi?

Pastikah jika saya menjadi atasan lalu saya pun langsung menjadi pimpinan?

Bukankah ada banyak atasan tidak bisa memimpin?

Ragukah saya bahwa Allah salah membagi rejeki?

Apakah saya tidak ridla pada keputusan-Nya?

Apa yang saya cari?

Kenapa saya dilahirkan?

Kenapa saya diciptakan?

....

Setengah jam kemudian, empat rokaat duha pagi itu terasa begitu basah oleh gerimis di pipi.

Waallaahua'lam.

Malang, 18 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya