My Mistakes : The Opening
Suatu waktu Ustadz Jajat
bertanya kepada kami tentang apa sebab manusia berjalan dengan tangan
diayunkan. Kami bertiga tidak sepakat dalam jawaban, tapi reaksi kami sepakat
begitu tahu jawabnya. Ustadz bilang sebabnya karena manusia yang berjalan masih
mengenakan celana. Tanpa mengenakan celana kedua telapak tangan itu pasti jelas
akan ditaruh di mana. Tentu ukurannya sama menurut Fikih : berakal, manusia yang
tidak berakal tangannya tetap mengayun santai walau berjalan tak bercelana.
Dialog itu terjadi mendekati medio dekade 90-an saat kami masih merintis
majlis ilmu di depan rumah saya.
Karena kita berakal maka
kita pun sama, bukan tentang berjalan tanpa celana, tapi tentang aib kita.
Setiap kita akan selalu sekuat tenaga menutupi aibnya, walau sering kali aib
itu ditutupi dengan aib yang lain. Tulisan ini membahas tentang aib saya, tidak
ingin saya tutupi bukan karena saya tidak berakal tapi karena saya merasa takut
justru akal saya akan hilang karenanya. Adalah hal yang sangat intuitif jika
manusia berusaha defensif, normal juga bila kedefensifan itu melahirkan begitu
banyak konflik. Itulah makanya Stephen R. Covey menulis tentang metoda
kontraintuitif itu begitu mendalam di buku The
3rd Alternative.
Siapakah Fihak yang Paling Bertanggung jawab atas Kesalahan-kesalahan
Kita?
Saya ingin menjawab diri
sendiri, tapi kalau difikir-fikir lagi setan lah yang membuat saya salah.
Bukankah niat saya awalnya benar, lalu dinamika hidup memberi setan alasan
untuk membelokkannya. Sama seperti jendela rumah yang kita buka untuk membuat
udara ruangan menjadi segar. Tapi angin juga membawa debu yang mengotori
interior rumah kita, lalu kitapun rajin membersihkannya agar rumah kita tetap
sehat. Maka begitulah hidup ini seharusnya, lima kali sehari dibersihkan lewat
sholat mungkin cukup untuk para sahabat nabi, tabi'in dan aulia, tapi untuk
level kita jelas lima kali jauh dari memadai.
Maka ditulislah cerita
ini. Semoga kesalahan-kesalahan saya tidak perlu ditiru oleh orang lain.
Terutama oleh orang-orang yang pertama kali membaca ini, mereka lah inspirasi
cerita ini sesungguhnya. They are the
true heroes.
Kapan Kita Melakukan Kesalahan?
Kapan Kita Melakukan Kesalahan?
Pertanyaan konyol ini
tidak pernah ada jawabannya. Saya sering berbicara dengan dua kelompok yang
bertikai, di kantor dan di kehidupan nyata manapun. Saat saya bersama kelompok
A, mereka sangat jelas mengingat detil kesalahan kelompok B. Bahkan jika
kelompok B memiliki identitas yang berbeda dengan mereka identitas itupun
dijadikannya juga senjata pembenaran. Hebatnya lagi, bagaikan aturan sastra
lama yang bercerita hitam putih, tak ada setetes kebaikanpun dari kelompok B
bagi kelompok A. Jika saya mendatangi kelompok B, jawaban yang sama tersaji dalam
gaya yang berbeda. Mereka semua selalu benar di mata mereka sendiri.
Maka jangan salahkan jika
konflik itu berujung bencana. Allah SWT mengirim bencana itu bukan semata-mata
untuk membuat mereka melihat kebaikan satu sama lain tapi melihat kesalahan
diri sendiri. Istigfar saja sangat cukup untuk (sekali lagi) para sahabat nabi,
tabi'in dan aulia. Tapi untuk kita yang hatinya dipenuhi kerak kefasikan perlu acid cleaning untuk membersihkannya.
Pada acid cleaning biasa digunakan
asam anorganik atau asam organik, pekat atau encernya bergantung kekerasan
senyawa keraknya. Dalam hidup kita mengenalnya dengan aneka sebutan : cobaan,
teguran atau hukuman yang pekat atau encernya bergantung kekerasan hati itu
sendiri.
Bagaimana Melihat Kesalahan Kita?
Pertanyaan ini jawabnya
mudah saja, dengan mata. Tapi ternyata sepasang mata yang diberi Allah dengan
sempurna ini tidak cukup mampu melihat kesalahan diri sendiri. Saya dulunya
suka berpetualang ke pedalaman yang jarang ada manusianya. Melihat kesalahan
sendiri itu ibarat memakai sepatu di luar tenda saat cuaca berkabut tebal.
Sebelah sepatu sudah terpasang di kaki tapi sebelah lagi ada entah di mana,
kita tahu sepatu itu tidak mungkin jauh dari pasangannya tapi kita tidak bisa
menemukannya. Kita manusia, selalu butuh bantuan untuk melengkapi satu sisi paradigma.
Itulah yang terjadi pada
saya, berulang kali. Beberapa tahun lalu saya mengalami demotivasi, kehilangan
semangat dan kontrol diri. Saya tidak bisa melihat apa yang salah dan bagaimana
memperbaikinya hingga saya bertemu seorang kawan yang belakangan saya anggap
mentor. Dia tidak menunjukkan jalan saya yang salah tapi menunjukkan jalan lain
yang benar. Saya terpacu meniti jalan baru itu, dengan bimbingannya saya
berpacu di jalan tol itu bermandikan cahaya terang.
Lalu lima tahun berlalu,
jalan itu masih terang tapi saya kehabisan bensin. Kegagalan karir dan
kebuntuan komunikasi membuat saya jauh lbh kacau dari lima tahun yang lalu.
Perlahan saya mengendur, meredup hingga akhirnya benar-benar tidak berpendar.
Saya terpenjara di ruang kerja bersama seluruh idealisme mengerangkeng jemari
dan amarah mengikat di kaki.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulanpun berganti kuartal. Dialog sudah dibuka tapi selalu berakhir runcing dan penuh luka. Perlahan blokade mulai dipasang dan fihak-fihak terlihat membuat aliansi. Di saat ketegangan memuncak saya hanya melihat satu solusi : Angkat kaki. Tapi ke mana? Belum satupun aplication letter saya berbuah panggilan kerja.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulanpun berganti kuartal. Dialog sudah dibuka tapi selalu berakhir runcing dan penuh luka. Perlahan blokade mulai dipasang dan fihak-fihak terlihat membuat aliansi. Di saat ketegangan memuncak saya hanya melihat satu solusi : Angkat kaki. Tapi ke mana? Belum satupun aplication letter saya berbuah panggilan kerja.
Hingga seorang teman saya,
Nia, berkata sambil lalu : "kenapa kamu sekarang kelihatan so hopeless, mas?". Itulah wake-up callnya, saatnya mencari
bantuan. Nia memang salah satu kru saya yang spesial, dia mirip indikator pH yang
akan berubah warna jika keasaman larutan berubah. Saya ingin (bahkan sedang)
membuat tulisan tentang dia. Lingkungan yang baik selalu memiliki indikator yang
unik, tapi bantuan yang saya maksud tidak akan datang dari anak kemarin sore.
Saya butuh seorang senior yang bukan hanya tua tapi juga punya kuasa, bukan air
kelapa pelepas dahaga tapi santan yang memasak rendang.
Kala Allah mempertemukan
kami, niat saya jelas saja yaitu ingin dibantu dalam kepindahan. Tapi arah
bicara jadi lain saat dia menangkap maksud saya. Senioritas dan pengalaman-pun
bicara di sana. Rupanya ini bukanlah semata chauvinisme sebagian orang
pada sebagian yang lain. Bukan juga tentang pola fikir generasi pro satus quo
vs generasi baru, logbook vs ms excel atau ikhlas-pasrahisme vs
ikhlas-berubahisme. Apalagi tentang ruang kerja kita yang semakin lama semakin
luntur idealismenya, idealisme safety,
idealisme quality, idealisme ciri
khas grati.
Ini semua bukan tentang
itu semua sama sekali. Apa yang disampaikannya dalam dialog singkat itu adalah
muhasabah sepenuhnya. Untaian kalimatnya terdengar lembut meluncur tapi tak
urung dari meninggalkan retakan di dalam dada. Bagai melepas paku berkarat di
dinding, cara apapun yang digunakan selalu meninggalkan lubang karatan di sana.
Mudah-mudahan bisa
bersambung..dan Allah izinkan saya bercerita.
Waallaahua'lam.
Diselesaikan di Bangkalan,
15 September 2013
Komentar
Posting Komentar