Sang Surya



Pagi itu Sang Surya terbit di ufuk timur, sinarnya gagah memenuhi cakrawala. Dari atas langit yang tinggi Sang Surya mengamati ke mana sinarnya pergi.  Dia melihat sinarnya menyempurnakan indahnya pegunungan, di satu sudut tanaman-tanaman kegirangan dan di sudut lain sebagian besar makhluk hidup mulai beraktifitas.

"Dengan begini, aku telah menjadi orang yang sangat berguna." Gumamnya dengan hati rasa digdaya.

Tapi senangnya tak lama, di satu sudut dia melihat awan kelabu bergulung-gulung. Hujan turun menderasi bumi, petir dan kilat bersahutan di sekelilingnya, tanah menjadi basah, sungai meluap dan para makhluk terhambat dari jalan rejekinya. Sang Surya pun memicingkan matanya lalu dengan suara yang terdengar delapan penjuru ia bertanya.

"Hai awan mendung, mengapa kau turunkan hujan di pagi yang cerah ini? Tidakkah kau lihat permukaan dunia membutuhkanku?"

"Maafkanlah aku, Sang Surya! Sungguh berat rasanya membawa air-air ini, mereka mengikutiku sepanjang jalan dan rasanya haruslah ku lepas di sini." Awan mendung menjawab dengan sopan.

"Dari mana air-air hujan datang?" Sergah Sang Surya.

"Dari laut awalnya lalu sepanjang jalan mereka terus bertambah, Sang Surya. Kau tanyalah mereka saja kenapa harus terus mengikutiku!" Awan mendung semakin tertunduk sopan.

Sang Surya pun mengamati bahwa awan mendung itu berasal dari awan yang putih. Di atas laut dan danau air-air itu naik dan memekatkan warnanya. Sang Surya mungkin terlihat ingin menolong si awan tapi sesungguhnya dia hanya peduli pada sinarnya yang terhalang hujan. Lalu diapun beranjak ke atas samudra dan bertanya pada sekelompok besar air di lautan.

"Hai air sekalian, bukankah laut adalah rumahmu, tempat kalian berkumpul berkeluarga, mengapa sebagian kalian naik mengikuti awan? Tanyanya pada laut.

Di bawah sana tak ada air yang berani menjawab pada Sang Surya. Dia terlalu tinggi, terlalu terang dan terlihat sangat berkuasa bagi para air yang kecil itu. Hanya bunyi deru ombak berkecipakan terdengar sejauh ini.

"Tidak kah kalian tahu bahwa dengan begitu si awan putih yang rupawan menjadi mendung yang menurunkan hujan?" Seru Sang Surya lagi pada laut.

Di bawah sana, air-air itu masih saja tak bersuara. Hanya beberapa buih pecah dideru ombak yang tak sabar mengejar karang.

"Tidak kah kalian tahu bahwa karena hujan itu, manusia tidak bisa pergi bekerja?" Sang Surya semakin meninggikan suaranya.

Lalu tiba-tiba terdengar suara dari sebutir air yang terpercik. "Kami tahu itu, Sang Surya."

Air-air yang lain segera menambahkan. "Kami juga tak ingin meninggalkan laut, ini adalah rumah kami."

"Lalu kenapa kalian tetap pergi juga?" Sang Surya memotong dengan gempita.

Dari bawah gemericik keluarlah suara-suara. "Itu juga karena kamu, sinarmu menerangi semesta tapi juga mengirimkan panas tak terkira, yang karena panas itu menguaplah kami ini ke angkasa."

Sang Surya terdiam, tak ada kata tak ada sanggahan. Dalam hati yang berkecamuk rasa diapun beringsut segera tenggelam di ufuk barat. Langit dihiasi semerbak merah dan jingga seperti hati  Sang Surya yang baru menyadari perbuatannya.

#####

Itu adalah cerita yang dulu pernah dan mungkin sering kali saya ceritakan saat mengajar di majlis ta'lim dekat rumah orang tua. Cerita itu tentu tidak masuk akal bagi orang dewasa, tapi bagi santri-santri cilik pembawa kitab Iqra' cerita itu sungguh luar biasa. Saya masih ingat bagaimana senyapnya kelas saat saya membawakan cerita itu.


Dan sebagaimana seharusnya orang dewasa saya mengajak kita belajar memaknai cerita juga. Bahwa kita kadang-kadang tak berbeda dengan tokoh Sang Surya yang merasa di atas segala-galanya. Mungkin kita tidak sedang berkuasa tapi kita merasa telah melakukan yang terbaik dan tanpa terasa mewajibkan semua orang mengakui kebaikan kita. Saat kita sungguh bekerja keras lalau kita pun merasa orang lain tak mampu sekeras kita dalam bekerja. Saat kita berkontribusi, kita merasa hanya kita lah satu-satunya jalan menuju kebaikan. Kita defensif saat diingatkan dan menolak pendapat dari orang yang ditakdirkan menjadi lebih rendah derajatnya. Kita nafikan pengalaman, kompetensi dan pandangan orang lain yang tidak sejalan dengan kita. Kitalah yang tanpa sadar telah menjadi Sang Surya nan digdaya, sambil terus menerus menyangkalnya.

Lalu saat semua berjalan dengan tidak semestinya kita pun meronta. Bagai merak yang menunjukkan bulu-bulu indahnya, kita pun memperlihatkan kemampuan kita. Unjuk kemampuan yang tidak didasarkan pada niat  memberi solusi. Inilah titik di mana dengan yakinnya pada mereka yang kita anggap pengacau kita bertanya "what's wrong with you?".

Padahal seharusnya jauh sebelum telunjuk ini terarah ke depan, dalam sepi kita bertanya "what's wrong with me?".

"Yeah, whats wrong with me?!"

Kepada diri ini pribadi, dengan segenap cinta.

Waallaahua'lam.

Malang, 29 April 2014

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung