Koperasi : Jawaban Sebuah Doa (1)





                Jumat, 27 Maret 2015 mungkin akan jadi hari bersejarah dalam hidup saya. Itulah hari yang berat di mana saya dan Tim harus mempertanggung jawabkan kinerja kami sebagai Pengawas Koperasi Pegawai PT Indonesia Power UP Perak Grati. Menjadi pengawas bukanlah mimpi dan bahkan tidak pernah saya inginkan tapi rupanya inilah yang saya butuhkan.

                Saya pernah bercerita bahwa saya sangat ingin kuliah lagi, khususnya di fokus ilmu ekonomi. Keinginan ini bahkan sudah ada sejak saya belum lulus kuliah Teknik dan naik turun memenuhi ruang hati saya. Dalam kondisi yang bagaimana pun sekolah lagi hampir selalu mengisi daftar doa saya kepada Allah SWT. Di tataran ikhtiar saya melakukan bench mark, mencari informasi dan membaca beberapa buku-buku ekonomi. Namun melihat kebutuhan biaya, kemampuan keuangan keluarga serta kemampuan akademis saya yang sejujurnya tidak terlalu bagus, saya harus menyadarkan diri saya bahwa cita-cita itu mungkin tidak akan terwujud. Maka ketika seorang kawan dekat bertanya bagaimana progress kuliah ekonomi saya, dan saya hanya menjawab dalam bentuk optimisme “Baru sampai sajadah”.

                Sebagai pengawas lembaga bisnis tentunya saya harus memiliki ilmu ekonomi. Rekan-rekan pengawas yang lain adalah lulusan ekonomi dengan spesialisasi akuntansi dan perpajakan, mudah saja bagi mereka membaca laporan keuangan dan angka-angka yang membuat berat mata itu. Maka untuk mengecilkan gap antara kami dan karena sebagai ketua pengawas tidak boleh menorehkan tanda tangan hanya berbekal kepercayaan, saya pun belajar lagi. Beberapa laporan keuangan sederhana yang bisa didapatkan dengan mudah di internet pun menjadi sarana belajar saya, hasilnya memang tidak sebaik mereka yang diberi rizki untuk sekolah ekonomi, tapi juga tidak terlalu buruk untuk seorang Harry Nurdianto yang kapasitas intelektual seadanya.

                Rapat-rapat dengan pengurus dan pengawas koperasi memang cukup berat, ada sejumlah uang berputar dalam bisnis yang tidak kecil. Jumlah uang itu memiliki jumlah angka yang sangat banyak dan sangat timpang bila dibandingkan dengan jumlah uang di slip gaji bulanan. Untuk meyakinkan diri agar tidak salah bicara, saya sampai harus mengurutkannya dari belakang seperti zaman SD dulu.. “satuan, puluhan, ratusan , ribuan dst”. Rapat-rapat koperasi tersebut selalu saja menantang dan menimbulkan kesadaran baru untuk belajar dan belajar lagi.  Maka tidak heran ketika saya menghadiri rapat tersebut dalam keadaan bugar dan keluar ruangan rapat dalam keadaan pucat, pusing dan mual-mual. Kadang pula terjadi sebaliknya, semua penyakit jasmani rohani yang menyertai saya ke ruang rapat menjadi tidak berbekas sekeluarnya.

                Babak final dari semua itu adalah pada minggu-minggu terakhir menjelang Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang merupakan puncak keputusan tertinggi perkoperasian. Periode penyusunan laporan pertanggung jawaban diwarnai oleh rapat-rapat bersuhu tinggi, tekanan anggota koperasi yang terlalu peduli, tugas-tugas pekerjaan utama di luar koperasi dan tentu saja kegamangan kami di depan fokus pada RAT sendiri. Semua itu bukannya kurang berat, tapi entah kenapa saya justru menyukainya, saya merasa jauh lebih hidup dari sebelumnya. Semangat saya untuk belajar ekonomi semakin menjadi-jadi, seolah hidup hanya tinggal untuk RAT saja, saya merasa sedang menulis tugas akhir menjelang wisuda.

                

Semarang, 1 April 2015

                 
               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya