Benchmark 2 : Climb to The Future

Tadinya saya berazzam kalau tulisan lalu adalah tulisan serius terakhir saya, ingin rasanya kembali menulis cerita fiksi lagi. Bukan apa-apa, menulis fiksi itu secara mental tidaklah terlalu berat karena tidak perlu memikirkan tersundutnya sebagian orang. Tapi alhamdulillah, belum satupun ada orang keberatan oleh tulisan saya, mudah-mudahan itu artinya kedewasaan kita sudah tumbuh. Andai ada yg tersundut juga, percayalah tulisan ini hanya dibuat dgn niat baik untuk meredakan tekanan di hati saya. Blog ini hanyalah sebuah safety valve, sumber tekanannya masihlah ada dan menyala. Jadi jangan bosan ya!

Menanti Buah Kepala

Saat saya melihat foto profil BBM Supriadi menampilkan dia di depan alat kimia canggih saya sudah merasa benchmark kali ini akan berbeda. Sayapun bertanya sedikit tentang apa yg dilihat mereka di Paiton IPP. Supri menjawab dgn antusias tentang alat-alat nan canggih di Lab, Dhini menjelaskan betapa melting-nya (percayalah,saya pun tidak faham artinya!) Supervisor kimianya. Saat Aris tidak banyak menjawab saya menduga tidak ada karyawan wanita yg cukup cantik di sana. Hehehe...

Bagi saya apapun yg mereka perhatikan tidaklah masalah. Alat-alat yg canggih, metoda pengukuran yg sama sekali baru, pegawai-pegawai yg kinclong atau kondisi plant yg indah adalah hal yg kasat mata. Yg saya tunggu-tunggu lebih dari sekedar buah tangan, bukan lagi sekotak tape singkong (peuyeum, basa sunda). Saya menunggu mereka membawa buah mulut, oleh-oleh cerita yg biasanya manis untuk didengar. Namun hanya oleh-oleh berupa buah kepala yg saya harapkan, saat perjalanan itu bisa membekaskan jejak di pemikiran. Karena hanya buah kepala-lah yg kelak bisa kita olah menjadi perubahan.

Satu Kisah di Tiga Pasang Mata

Setelah buah tangannya tandas dimakan bersama maka buah mulutpun mulai dibuka. Saya mendengar semua orang bercerita, apa yg disampaikan lisan mereka & tentu saja bahasa tubuh saat penyampaiannya. Tahukah kamu, bahwa cara orang bercerita itu tidak sama. Kalau menggunakan istilah kondisi buah yg saya gunakan untuk menutup cerita kemarin maka kira-kira jadi begini pembagiannya.

Mereka yg sudah matang menganggap kehebatan plant-plant swasta adalah laksana karomah yg diberikan-Nya kpd seorang Wali, sulit bagi kaum awam hinggap di sana. Maka setelah itu selesai, selesailah sudah itu semua.

Mereka yg setengah matang melihat kehebatan itu laksana pulau emas di seberang laut. Harapannya besar & cita-citanya tinggi tapi tak lupa ditambahkan bumbu sampan kecil, ombak besar menggulung-gulung & ikan hiu nan lapar di pekat kertas gambarnya. Mereka sibuk menengok ke kiri kanan mencari kawan, berharap angin bertiup kencang dan langit bersahabat untuk memulai pelayaran.

Mereka yg merasa masih mentah akan menelan mentah-mentah kehebatan itu sebagai pulau emas di seberang laut. Tapi demi indahnya pulau itu mereka pun rela menambal perahu, membuat dayung yg lebih kuat dan tentu saja belajar berenang.

Masalahnya, cara kita bercerita mempengaruhi persepsi pendengar juga lho. Jadi benarlah jika Pak Dahlan Iskan, Big Big Boss kita, menulis tentang manufacturing hope tiap minggu. Di sana seolah semua masalah itu menjadi terlihat lebih mudah. Jadi kita ini buah yg mana?

The Man (and Women) Behind The Gun

Saat kita bicara alat ukur kimia sebenarnya saya tidak ingin mendengar tentang alat. Kalau saya ingin mengetahui lebih dalam tentang peralatan itu jalur alumni Smakbo lebih mumpuni dari pada kamu benchmark dua hari. Saya ingin kalian saat benchmark merasakan sensasi menyentuh alat ukur kimia yg kinclong bebas debu dan dioperasikan dgn segenap ilmu pengetahuan.

Saat kita bicara tentang teknologi yg dipakai di plant IPP saya juga tidak mau belajar utilitas pabrik kimia lagi, mata kuliah itu sudah khatam. Saya ingin mendengar bagaimana peserta melihat utilitas Tim Kimia dalam sebuah sinergi operasi.

Saat bercerita tentang struktur SDM saya juga tidak butuh laporan berapa persen jumlah S2, S1, D3, SMK dst dari keseluruhan organiasasi. Saya ingin peserta menyadari bahwa mereka juga makan nasi dan minum kopi seperti kita.

Jadi bilapun semua alat-alat nan kinclong itu dibawa dari IPP ke Lab kita. Lalu kita semua dilatih secara baik untuk mengoperasikannya. Ditambah semua operator kita diberi beasiswa hingga ke Australia. Pertanyaannya apakah kita bisa seperti mereka bagusnya?

Saya tahu semua akan menjawab TIDAK.

Kita tahu itu bukan tentang alat, bukan tentang kompetensi dan pendidikan. Ini bukan tentang APA, ini semua masalah SIAPA. Ada yg tidak setuju?

Tentu saja sayapun setuju modernisasi, setuju peningkatan kompetensi, bahkan saya akan mendaftar juga bila ada kesempatan beasiswa. Tentu adalah fakta bahwa tidak semua yg ada di sana itu lebih baik. Juga fakta bahwa masih ada hal yg tidak tertandingi di sini. Pun fakta bahwa pilihan reaksi kita sangat menentukan identitas diri kita. Masihkah mentah, sudahkah matang ataukah malah busuk tak berguna.

Runtuhkah Gunungnya!

Maka supaya benchmark ini tidak berakhir sebagai kenangan manis di album foto, facebook atau twitter kita perlu mulai bergerak. Mulailah mencari hal baik di sana yg belum kita punyai di sini. Jika sulit menemukan prioritas target maka saya anjurkan memulainya dengan hal yg paling mudah dilakukan. Saat hal yg mudah itu ternyata benar-benar bisa dilaksanakan maka kepercayaan diri kita untuk melaksanakan yg lebih besar akan tumbuh.

Penting sekali untuk tidak bekerja sendirian, mulailah bekerja sama! Syarat dasar sinergi itu bukan tingkat kecerdasan tapi keberterimaan. Sampai kapanpun tak ada sinergi tercipta dari kelompok yg anggotanya masih menyimpan rasa lebih, merasa lebih tua, merasa lebih pintar, dst. Sumber kelelahan akut saya saat ini adalah karena dulu saya berjuang sendirian. Saya tidak ingin adik-adik saya merasakan hal yg sama.

Tapi meskipun begitu jangan berharap saya bisa terlalu banyak membantu. Selain kimia entah mengapa sudah tidak terlalu menarik hati. Jangan lupa saya masih orang yg sama yg nilai kinerja dan karirnya tidak kinclong. Malu deh rasanya orang yg kalah balapan ngajarin orang lain ikut balapan. Hehehe...

Patut diingat juga bahwa kita bukanlah seorang Agen Perubahan. Jadi kamu tidak dilatih, tidak disiapkan dan bukan dinilai untuk melakukan perubahan. Keinginan untuk menciptakan perbaikan haruslah datang dari dalam diri sendiri. Sisi positifnya adalah kita tidak harus memulai segala sesuatu dgn yel-yel penyemangat. Tambahan sisi positifnya adalah jika gagalpun kita masih bisa berkelakar "yaaa wajarlah, amatir kan gue!". Hehehe...

Akhirnya saya menutup tulisan ini dengan sebuah ungkapan arab yg saya kutip dari twitt Prof. DR. Mahfud MD, salah satu idola saya dan mantan ketua MK. Beliau menulis ini di pagi 28 Oktober 2013, edisi hari sumpah pemuda. Bahwa seharusnya tidak ada satupun tembok yg menghalangi kita para pemuda.

"Himmatur rijaal, tahdimul jibaal."

Semangat dan cita-cita pemuda itu mampu meruntuhkan gunung.

Waallaahua'lam.

Malang, 28 Oktober 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya