My 2nd Mistakes : Menghindari Ujian
Elf kami melaju dari
Malang, sebagian besar penumpang tertidur seperti biasa, namun saya sedang
tenggelam dalam salah satu seminar yang mahal. Pak Guru menghajar saya dengan
satu pukulan telak, membuat saya terhuyung dan terjerembab ke tanah. Saya
mencoba bangkit sambil menahan rasa menusuk dan panas di tengah dada yang
bersamaan dengan itu rontok juga beberapa beban yang saya simpan di pundak
selama ini. Belum sempat menarik nafas, badan masih mencari keseimbangan, beliau
sudah menyerang lagi.
Peti Perasaan
Apa yang kamu rasakan saat
kamu memiliki ide lalu ide tersebut diabaikan? Saya tahu sebagian orang akan
mengatakan "just give another try!".
Tapi apa yang akan kamu katakan jika hal itu terjadi terus menerus selama hampir
delapan tahun?
Saat itu sekitaran
2007-2008, saya merasa berada di puncak kreatifitas. Dengan inisiatif sendiri
saya membuat perancangan perubahan suatu alat yang saya jadikan juga materi
utama Tugas akhir kuliah. Menyadari tidak pintar kalkulasi teknik sayapun
meminta bantuan beberapa kawan di kelas untuk menghitung rancangan tersebut.
Hingga akhirnya karya kecil itu sukses membantu saya di bidang akademik.
Sebenarnya itu adalah ide lama saya tentang efisiensi di satu titik kimia di plant tempat bekerja, jadi setelah
perhitungan selesai saya berharap banyak itu bisa diaplikasikan.
Saya berdiskusi dengan
atasan atas pencapaian itu dan menyampaikan betapa rancangan ini mungkin bisa
membantu. Saya terlalu antusias dengan pekerjaan saya dan tidak terlalu
memperhatikan bagaimana responnya. Jadi seperti kebanyakan dokumen, saya
menyimpan rancangan saya itu di mejanya setelah diskusi itu selesai. Dan
beberapa bulan lalu saat kami semua melakukan bersih-bersih 5S saya menemukan
rancangan saya itu ada di salah satu tumpukan dokumen di mejanya, dalam bentuk yang
sama sejak saya usulkan. Lalu saya menyadari dua hal : pertama, salah
satu kelemahan saya yaitu pelupa; dan kedua, ini bukanlah satu-satunya ide saya
yang dibiarkan dingin di mejanya.
Beberapa orang memang suka
memakai ear phone tapi saya sangat
menyayangkan beberapa orang tetap memakai ear
phone di mana-mana, bahkan saat musiknya sudah dimatikan. Itu membuat kita
jadi kurang mampu mendengar. Dan seperti kebanyakan bawahan di seluruh
Indonesia, kami terikat budaya timur yang mencerca sikap asertif dan
fakta tak terbantahkan bahwa kami sangat membutuhkan pekerjaan ini. Maka
sayapun menyimpan rancangan itu bersama ide-ide saya yang tertolak lainnya ke
dalam suatu peti di sudut hati. Benda-benda itu nampaknya usang tapi entah
kenapa tidak juga bisa saya buang.
Katanya Maya Angelou kita
bisa lupa apa yang orang lain pernah katakan atau perbuat terhadap kita tapi
kita tidak bisa lupa bagaimana mereka membuat kita merasakan sesuatu. Bagi
saya, sulit memang melupakan bagaimana ketidak pedulian dalam mengakomodasi
ide-ide saya selama bertahun-tahun. Bagaimana dengan kamu?
Senyuman di Balik Kaca
Saya tahu, belakangan ini
semakin tahu, bahwa setiap orang memerlukan kondisi tertentu untuk berbuat
baik. Contohnya adalah bila kita ke masjid, walau se-liberal apapun pemikiran
kita tidak akan sampai bersedia menyetel musik dari smartphone keras-keras, berkata jorok atau menggunakan pakaian yang
tidak pantas. Jadi kesimpulannya kondisi di masjid cukup kondusif mendorong
kita jadi islami.
Di Lab kami, ada beberapa
contoh yang juga cukup baik. Aris seperti saya ceritakan kemarin bila mendapat
giliran shift malam sangat suka membersihkan dan merapikan wastafel, walau saya
yakin dia tahu nanti siang akan selalu ada kawan yang dengan ikhlasnya
mengotorinya lagi. Pun juga Hariadi, salah satu junior saya juga, suka sekali
memperbaiki barang-barang, dia mirip dongeng tentang sekelompok peri di Toko
sepatu. Sering kali sepeda yang kami tinggalkan rusak di parkiran pada sore
hari sudah kembali baik besok paginya, kompor yang konslet dan entah apa lagi
barang yang sudah direparasinya diam-diam. Aris dan Hariadi adalah tipe orang yang
suka main rahasia-rahasiaan dalam berbuat baik, rahasia juga adalah kondisi.
Maafkan saya jika tulisan ini membongkar rahasia kalian!
Lain halnya dengan Nia,
indikator lingkungan kami juga memiliki talent yang luar biasa, tapi mungkin
hanya saya yang menyadari kondisinya. Sejak hari pertama, saya selalu
mendengarkannya, seperti yang saya lakukan kepada yang lain, hampir tiap suku
kata yang diucapkannya. Saya memperhatikannya, seperti yang saya lakukan kepada
yang lain, tiap gerak geriknya. Saya memikirkan, seperti yang saya lakukan
kepada yang lain, bagaimana cara terbaik melatihnya. Tapi tidak seperti yang
saya lakukan kepada yang lain, saya sering berbohong kepadanya. Saya
memahami Nia butuh simbol untuk dilawan, simbol yang harus dilampaui dan
dikalahkan. Jadi saya memposisikan diri sebagai oposisi di hadapannya, jarang
memuji tapi selalu mengakomodasi, mengajarkan tapi juga menantang, mendorongnya
naik tapi juga merendahkan. Saya adalah simbol itu, suatu kondisi yang
dibutuhkan Nia untuk maju. Adalah resiko saat Nia pernah begitu membenci saya
karena perlakuan saya kepadanya itu, tapi saya menerimanya. Menjadi simbol
kadang kala memang sangat merepotkan.
Tidak selalu hal baik yang
butuh kondisi, menjadi kurang baik pun juga butuh kondisi. Saat organisasi
memutasikan Nia ke tempat lain saya tahu dia tak akan pernah sama lagi. Ada
juga junior yang semakin hari integritas dan antusiasmenya semakin
merosot. Berulang kali kesalahan, angka tipuan dan laporan anehpun
tersaji lancar. Saya bersedih karena tak satupun hal bisa saya lakukan untuk
menolongnya.
Bagi saya bekerja adalah
perwujudan idealisme yang selalu bisa di-reversible-kan
seperti reaksi kimia. Yang antara lain misalnya jika kita enggan melakukan
suatu pekerjaan berresiko tinggi maka tidak layak kita menyerahkan pekerjaan
itu kepada Helper, apapun jenis
kelaminnya. Tentu ada banyak lagi hal lain yang bisa ditulis, namun bukan di
sini tempatnya.
Saya melatih mereka untuk
bekerja dalam integritas tinggi dan sistem yang baik bukan untuk menjadikan
mereka pengikut saya selama-lamanya. Saya tidak selalu benar sebagaimana mereka
juga bisa salah, itulah prinsip dasar dari mentoring. Tapi hidup adalah realita
dan saya tidak bertanggung jawab atas mereka yang memiliki pandangan lain.
Bukankah Rasulallah SAW saja bukan diutus untuk menjadi pemelihara umat manusia
seluruhnya (silakan periksa QS. 4:80). Apa lg saya bukan?
Maka begitulah kebaikan dan
kekurangan Tim ini tersaji di depan mata saya. Dari balik kaca pembatas ruang
kerja dan ruang staff saya melihat wajah, harapan dan banyak hal yang tidak
sempat terkatakan oleh lisan mereka yang terbatas sepasang bibir. Dari balik
kaca saya melihat mereka sebagai manusia bukan sebagai trainee atau teknisi kimia. Ada sedikit suara dari pojok hati saya
itu, tempat saya menyimpan ide dingin dan aneka kekecewaan. Suara yang
mentertawakan kekerdilan saya yang tidak mampu melakukan apapun selain menonton
dari balik kaca.
Katalisator Mimpi
Setiap kita punya misi dalam
hidup, kita menyebutnya mimpi, bisa jadi setiap orang ingin memetik bintang di
langit malam. Memiliki misi itu satu hal, mengetahui apa yang harus dilakukan
untuk mewujudkannya adalah hal lain. Banyak yang mengatakan mereka yang
berhasil memetik bintang adalah orang yang beruntung, banyak lagi yang meyakini
bahwa itu semua semata hasil usaha.
Begitu pula setiap orang punya masalah, setiap orang butuh tempat mengadu tapi tdk setiap orang menemukan tempat mengadu yang tepat. Saat kita mengadu pada mereka yang rendah semangatnya dan kerdil jiwanya maka kita akan terseret ke sana bersamanya. Tapi jika kita menemukan teman yang serupa matahari, yang sinarnya menghidupkan hati, masalah akan menguap dan berganti semangat. Maka ada yang bilang mendapatkan sahabat yang baik itu adalah keberuntungan sebagaimana banyak yang bilang sahabat baik adalah hasil usaha kita menyeleksi pertemanan.
Jawaban
pernyataan-pernyataan itu diungkapkan dengan baik oleh Pak Guru dalam seminar
di Elf pagi itu. Beliau bilang : "kalau niat anda benar lalu anda
istiqomah di jalan yang benar, maka Allah akan mempertemukan anda dengan
orang-orang yang benar".
Sayapun menyadari
pertemuan saya dengan Kru Lab adalah bagian dari bantuan Tuhan atas misi saya untuk
melakukan perbaikan. Betapa banyak program yang didinginkan atasan terwujud
saat kami bekerja bersama-sama. Satu demi satu kondisi ideal yang saya harapkan
tercapai ketika kami menyatukan kekuatan dalam sinergi. Saya dengan segala
mimpi, Dhini yang stabil, Nia yang melenting, mereka yang rajin dan mereka yang
malas adalah mungkin perwujudan keberuntungan yang ditentukan Tuhan. Bukan
mereka yang jd katalis mimpi, tapi KAMI. Dalam ketidak sempurnaanlah bisa
muncul sinergi, yakni saat tak satu orangpun merasa dirinya lebih tinggi.
All iz Well
Sebaik apapun sinergi yang
kami bangun sll ada tembok yang tdk bisa ditembus. Kekecewaan saya pada
kegagalan karir kemarin membuat saya melihat tembok itu menjadi semakin tebal dan
tinggi. Di balik resolusi karir sepuluh tahun saya yang gagal itu ada
harapan untuk melompati tembok itu. Tiba-tiba saja peti kecil dipojok hati itu
terguncang, tutupnya terbuka dan isinya tercecer ke mana-mana. Energi
negatifnya menyebar mengotori tiap pori. Saya sendiri jadi tidak percaya bahwa
saya pernah bekerja, bersinergi dan berproses sebaik itu. Sebenarnya saya telah
meletakkan telur-telur harapan di satu keranjang yang rapuh. Sungguh, kecewa
adalah hal yang berbahaya, makanya jika berlarut dalam kekecewaan terlalu lama
bisa membuat kita terjebak di kubangan dosa.
Pak Guru yang saya
ceritakan ttg tembok-tembok itu menjelaskan bahwa adalah sunatullah jika tiap
level kehidupan selalu bertabur ujian. Tim yang sinergis di Lab sebelumnya
adalah ujian kemenangan dan tembok-tembok dingin di ruang sekitarnya adalah
ujian kemalangan. Ujian menang dan malang itu harus diatasi setiap orang yang
mau naik ke tingkatan lebih tinggi. Dan saat kita berhasil naik ke tingkat
berikutnya, ujian baru pun sudah menunggu. Kita tidak bisa memilih ujian-ujian
itu karena Sang pemilik hidup adalah Maha Guru Semesta yang tak pernah salah
menulis kurikulum.
Saya tercenung sambil
bersandar di kursi, sesaat sebelum Elf memasuki gerbang marinir saya mencoba
menghisab diri. Keberhasilan saya saat menjadi aktifis Ikhwan di Bogor dulu itu
mungkin mengandung bahaya sehingga saya dikirim ke satu tempat yang sudah
ditakdirkan kegagalannya. Di sela-sela kegagalan itu saya dipertemukan dengan
tandem seangkatan dari Bandung yang memaksa saya terlibat kompetisi. Akhir
kompetisi itupun dituliskan gagal untuk saya, tak ada tiket pulang ke barat!
Lalu saat leher saya kelelahan karena terus menengok ke barat, dipertemukannya
saya dengan Mas Mentor yang memperlihatkan saya dunia lain yang begitu gemerlap
nan benderang sehingga saya kmbali bersemangat. Saat kepala saya terlena
melihat dunia benderang itu saya melupakan kaki saya yang masih menginjak bumi,
hingga ditariknya kaki itu dan sayapun terjerembab. Kejatuhan itu menyadarkan
saya tentang hakikat Niat, mengenalkan saya pada sisi gelap diri saya sendiri,
membukakan mata saya pada sisi lain orang-orang di sekeliling saya dan membuat
saya lebih menghargai orang-orang baik yang tersembunyi.
Tentu yang tidak kalah
penting adalah dipertemukannya saya dengan para Guru. Mereka tidak selalu
bersepeda seperti Umar bakri atau berpeci seperti Ustad Jajat. Mereka ada yang
berpakaian auditor, ada yang terbungkus jabatan Supervisor Lab lain, ada pula yang
hadir dalam bentuk junior yang selama ini menahan diri bahkan ada yang
serupa siswa PKL yang slengean. Mereka punya satu kesamaan, mereka
dititipi Hikmah dari-Nya. Hikmah itu seperti petunjuk jelas berbentuk rumus
saat kita ujian fisika, sangat membantu.
Kini, saat tulisan ini
diturunkan ujian itu tidak terasa bertambah ringan. Tembok yang semakin tebal dan
menara yang semakin tinggi dibangun di ruang rapat. Semangat menciptakan sistem
yang baik dihadapkan pada kepemimpinan yang pragmatis. Sinergi yang dibangun
bertahun-tahun diuji dengan prilaku dominan. Kini menjadi lumrah saat rapat
satu pendapat tiba-tiba dipotong oleh pendapat lain. Lalu bisik-bisik pun mulai
terdengar di balik kaca.
Saya merasa ada gap di
sini, sebuah perubahan memang selalu menghasilkan retakan jurang baru. Tidak semua
orang faham bahwa jurang itu bisa disebrangi dengan jembatan bukan dengan
membangun tembok di tepian. Di sinilah sinergi menjadi lebih sulit dikerjakan
dr pada yang dituliskan. Apa lagi jika usulan saya tentang down grading sistem
disetujui. Tapi entah kenapa saya lalu merasa semua akan baik-baik saja. Saya
percaya bahwa sekali lagi saya bisa melihat bagaimana sesungguhnya adik-adik
saya itu.
Allah mengirim Abu Jahal
untuk Rasulallah, mengirim Firaun dan Bani Israil untuk Musa dan Harun,
mengirim Azar kepada Ibrahim, pasti juga mengirim orang-orang tertentu untuk
kita. Selalu ada batu yang keras untuk mengasah pedang yang tajam.
Waallaahua'lam.
Malang, 28 September 2013
Malang, 28 September 2013
Komentar
Posting Komentar