Dzikir Ratib Al Haddad



Pertanyaan

Assalamualaikum wr wb Pada waktu SMA dan aktif di Sie Kerohanian Islam saya dikenalkan dengan ratib Al-Haddad yang dibaca setiap Jumat bakda Maghrib. Saya merasa menyatu denganyna hingga saya ditunjuk teman-teman untuk memimpin pembacaan ratib. Terlepas dari itu semua, background ke islaman saya adalah Muhammadiyah jadi sering kali ketika saya membaca rotib sendiri di rumah, saya tdk melakukan tawasulan.
Mohon tanggapan dari para ust pengasuh, mengingat sepertinya ratib Al-Haddad sudah mendarah daging pada diri saya, disisi lain saya kurang setuju dgn tawasulan (tapi saya tdk pernah mempermasalahkan bagi pengamal tawasul).
Jazakumulloh khoir.
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Orang-orang Muhammadiyah biasanya memang tidak punya kebiasaan membaca dzikir-dzikir semacam ratib Haddad. Sehingga kalau ada anggota atau keluarganya yang membaca ratib itu, memang terasa rada aneh. Biasanya yang sering mengamalkan pembacaan ratib itu kalangan Nahdhiyyin, atau yang sejenisnya. Pertanyaanya ini menarik, karena fenomena yang disebutkan di atas ternyata mengalami anomali. Justru anak dari keluarga Muhammadiyah malah mengamalkan pembacaan ratib Haddad ini. Walaupun masih memilah dan memilih untuk tidak membaca bagian yang menurutnya tawassulan.
Untuk itu tidak ada salahnya kalau kita sedikit mengenal tentang ratib Haddad dan apa hakikatnya serta bagaimana perbedaan pendapat yang terjadi di tengah umat Islam tentang masalah ini.
Sekilas Tentang Ratib Haddad
a.       Makna Ratib
Ratib adalah sebuah istilah dalam bahasa Arab, yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang disusun atau diatur. Namun makna secara istilah kurang lebih adalah rangkaian dzikir-dzikir, doa, pujian, dan juga munajat kepada Allah,  yang disusun sedemikian rupa untuk dibaca secara teratur atau rutin, sesuai dengan program yang telah dibuat.
Lafadz dzikir itu bisa saja bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah atau pun hasil gubahan dari penyusun sebuah ratib itu sendiri. Namun meski bersumber dari Al-Quran atau sunnah nabi, peran penyusun ratib adalah membuat urut-urutannya, mana yang dibaca terlebih dahulu dan mana yang dibaca kemudian. Selain itu peran penyusun ratib juga membuat ketentuan untuk pengulangan-pengulangannya, seperti dibaca tiga kali, tujuh kali, sepuluh kali dan seterusnya.
Biasanya para menyusun ratib ini kemudian mengamalkan atau melafadzkan rangkaian ratibnya itu secara periodik, atau pada tiap kesempatan tertentu, sesuai dengan selera dan kehendaknya. Bahkan para penyusun ratib ini juga mengajarkan karyanya itu kepada para muridnya. Bahkan berpesan agar para murid itu selalu setiap membacanya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan sang guru.
b.      Ratib Haddad
Kalau kita sering mendengar istilah Ratib Haddad, maka itu adalah nama sebuah jenis ratib, yang konon disusun oleh orang yang bernama atau berjulukan Al-Haddad. Kalau mendengar nama Al-Haddad, bayangan kita pasti akan langsung mengarah ke negeri Yaman. Al-Haddad adalah nama sebuah marga yang masyhur di negeri itu. Secara harfiyah kata haddad berasal dari kata besi, barangkali keluarga atau marga itu dijuluki al-haddad karena asalnya merupakan pandai besi, wallahua'lam.
Nama asli pengarang ratib Al-Haddad ini adalah Al-Habib Abdullah bin alwi bin muhammad Al-Haddad. Sebenarnya beliau bukan hanya mengarang satu ratib, namun dari beberapa banyak doa-doa dan dzikir-dzikir yang beliau karang, Ratib Al-Haddad inilah yang paling terkenal dan masyur. Al-Haddad diperkirakan hidup disekitar tahun 1000-an hijriyah, kurang lebih 400-an tahun yang lalu. Sebab ada keterangan bahwa ratib Al-Haddad disusun konon berdasarkan inspirasi, pada malam lailatul Qodar 27 Romadhon 1071 H.
Ratib karangannya ini kemudian semakin populer ketika pengarangnya pindah ke Mekkah dan Madinah, dan mengajarkannya di negeri itu. Maka tersebarlah ratib ini hingga ke berbagai negeri, salah satunya sampai ke tanah air kita. Tentu penyebarannya tidak lepas dari keaktifan para murid beliau yang rajin mengkapanyekan ratib ini dalam berbagai kesempatan.
Masjid di depan rumah saya, tidak malam Jumat habis Maghrib hingga Isya' tidak pernah lepas dari pembacaan ratib ini. Lantunan pembacaanya sudah sangat akrab di telinga saya, sejak saya masih kanak-kanak.
c.       Khasiat Ratib
Entah benar entah tidak, tetapi salah satu yang membuat banyak orang tertarik untuk menggelar ratib haddad ini adalah janji atau iming-iming yang sering disebut-sebut oleh para kiyai di kampung, bahwa ratib ini bila dibaca rutin akan dapat menolak bala dan bencana. Konon dahulu, awal mula bagaimana ratib ini disusun oleh pengarangnya, juga ketika kampungnya sedang mengalami bencana, yaitu munculnya alliran yang sesat dan menyesatkan serta merusak aqidah umat. Lalu masyarakat diajak untuk melafadzkan ratib ini secara rutin hingga akhirnya bencana itu hilang dengan sendirinya.
Sebuah keterangan menyebutkan bahwa konon dahulu ratib Al-Haddad ini disusun untuk memenuhi permintaan seorang murid beliau yang bernama Amir dari keluarga Bani Sa’ad yang tinggal di Syibam, salah satu perkampungan di Hadromaut, Yaman. Tujuan Amir meminta Habib Abdullah untuk mengarang Ratib, Agar diadakan suatu wirid dan dzikir dikampungnya, agar mereka dapat mempertahankan dan menyelamatkann diri dari ajaran sesat yang sedang melanda Hadromaut ketika itu.
Pertama kalinya Ratib ini hanya dibaca dikampung Amir sendiri yaitu kota Syibam setelah mendapat izin dan ijazah dari Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad sendiri. Selepas itu, Ratib ini pun dibaca di masjid Al-Hawi milik beliau yang di kota Tarim. Pada kebiasaan Ratib ini dibaca secara berjamaah setelah sholat ‘isya’.
Semakin kesini semakin banyak saja kisah dan cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut tentang khasiat dari ratin ini bila dibaca. Ada yang selamat dari perampokan, makar, kekacauan sosial, bahkan sampai ancama dari kehancuran berbagai jenis bencana alam. Kalau kita kumpulkan, maka halaman ini tidak akan cukup untuk menyampaikan berbagai kisah 'ajaib' tentang khasiat ratib ini.
Tetapi intinya, para pendukung atau melantun ratib ini umumnya meyakini bahwa ratib ini dibaca demi untuk menolak bahaya atau bencana.
d.      Lafadz Ratib Haddad
Kalau kita teliti, lafadz atau isi bacaan pada ratib Haddad terdiri dari ayat-ayat Al-Quran, seperti surat Al-Fatihah, ayat Kursi kemudian diteruskan dengan bacaan-bacaan yang bersifat meminta perlindungan kepada Allah. Lalu diteruskan dengan membaca Surah Al Ikhlas, Surah Al Falaq, Surah Annas. Dan masih beberapa lafadz lainnya, yang sebenarnya tidak ada satu pun isinya yang bertentangan.
Perbedaan Pendapat
Kalau pun ada yang dipermasalahkan, maka kurang lebih mencakup beberapa hal :
1.          Hukum Membuat atau Menyusun Ratib
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menyusun lafadz-lafadz dzikir dan doa, yang dijadikan sebuah bentuk yan baku. Sehingga seolah-olah susunan itu datang dari Rasulullah SAW langsung, padahal sebenarnya hanya hasil penyusunan dari orang lain.
Sebagian kalangan berpendapat tidak mengapa bila kita melazimkan untuk membaca susunan doa karya seseorang, secara rutin setiap hari, atau setiap jadwal waktu yang telah diprogramkan, sebab tidak ada dalil yang melarangnya. Yang penting jangan sampai tidak dibaca, karena perintah untuk berdzikir dan berdoa sangat banyak dan bertebaran dimana-mana. Sedangkan kalau seseorang menyusun lafadz doa dan dzikir sendiri, sesuai dengan selera, lalu dibaca secara rutin sesuai jadwal yang ditentukan sendiri, tentu tidak menjadi masalah. Bahkan kalau pun juga dia mengajak para muridnya untuk merutinkannya.
Sementara sebagian kalangan beranggapan bahwa meski pun lafadz doa dan dzikir bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi kalau cara membaca serta jadwalnya sudah ditentukan sedemikian rupa, maka seolah-olah kita telah menciptakan sebuah ritual ibadah baru, yang mana Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkannya. Dalam pandangan mereka, yang jadi masalah bukan lafadznya, tetapi ritual pembacaannya yang bermasalah. Karena dibaca secara berjamaah, dengan paduan suara, dibaca dengan mengikuti susunan tertentu, dan dibaca secara rutin setiap waktu. Semua itu dianggap bermasalah, karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW.
Kita berada pada dua kutub ini, yaitu antara mereka yang membolehkan dan yang melarang. Di negeri kita, kalangan yang mendukung misalnya dari Nahdyiyyin dan sejenisnya, sedangkan yang melarangnya kebanyakan berasal dari Muhammadiyah dan sejenisnya.
2.          Hukum Meyakini Bahwa Ratib Tertentu Punya Khasiat Tertentu
Permasalahan kedua adalah tentang khasiat tertentu yang seringkali dijadikan iming-iming, ketika kita membaca jenis ratib tertentu. Sebagian memperbolehkan adanya keyakinan atas khasiat tetentu, sedangkan yang lainnya melarang.
Mereka yang membolehkan berhujjah bahwa yang namanya pertolongan Allah SWT terbuka buat siapa saja yang berdoa dan meminta. Sehingga kalau ada yang membaca ratib Haddad ini lalu berharap mendapatkan berbagai macam khasiat berupa pertolongan dari Allah SWT, tentu tidak boleh dihalangi. Memang tujuan dari membaca ratib adalah untuk mendapatkan berbagai pertolongan dari Allah SWT.
Sedangkan mereka yang menolaknya berhujjah bahwa kebanyakan kisah-kisah 'ajaib' yang disampaikan itu hanya merupakan hayal dan omong kosong yang tidak bisa dibuktikan. Jadi dianggap sekedar iming-iming yang belum tentu benar. Sebab semau iming-iming itu tidak berasal dari Rasulullah SAW. Dan yang pasti tidak ada jaminan dari Rasulullah SAW bahwa mereka yang membaca ratib Haddad itu akan jadi begini atau jadi begitu.
Bahkan sebagian kalangan memperingatkan, kalau keyakinan itu berlebihan, nanti bisa sampai kepada syirik.
Kenapa?
Karena orang-orang bukan meyakini bahwa Allah SWT yang memberi pertolongan, tetapi justru ratib itulah yang mendapatkan berbagai keajaiban. Padahal seharusnya tidak boleh begitu. Kita tidak dibenarkan berharap mendapatkan pertolongan dari bacaan, melainkan dari Allah SWT sendiri.
3.          Hukum Mengirim Pahala Bacaan Quran dan Dzikir
Masalah yang ketiga adalah masalah yang sudah amat klasik di dunia Islam, yaitu tentang apakah pahala bacaan Al-Quran atau lafadz-lafadz dzikir yang kita ucapkan itu bisa kita transfer pahalanya kepada orang yang sudah meninggal dunia. Dan masalah inilah barangkali yang menjadi inti dari pertanyaan di atas, yaitu apa yang disebut dengan istilah wasilah atau perantaraan.
Jawabnya, lagi-lagi ini adalah masalah khilafiyah yang sudah cukup panjang didiskusikan oleh para ulama. Intinya, kita tidak bisa menafikan salah satu pendapat dari dua pendapat yang berbeda. Posisi kita yang lebih tepat barangkali adalah menerima dengan lapang dada adanya kedua perbedaan pendapat itu.
Sebab masing-masing pendapat itu ternyata didukung dengan dalil-dalil yang amat kuat bahkan sulit terbantahkan. Dasar pendapat masing-masing juga berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih. Sekedar informasi singkat, para ulama yang menyakini bahwa pahala bacaan Al-Quran itu bisa 'dihadiahkan'  kepada orang yang sudah mati diantaranya adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Anehnya, di negeri kita, justru keduanya lebih sering dipuja oleh kalangan yang anti dengan mengirim hadiah pahala kepada orang mati.
Sebaliknya, diantara yang sering disebut-sebut menolak sampainya pahala bacaan Al-Quran kepada orang mati justru Al-Imam Asy-Syafi'i sendiri, dimana kebanyakan mereka yang aktif suka berkirim-kirim pahala kepada orang mati, justru bermadzhab Syafi'i. Maka fenomena ini menjadi sebuah paradoks, atau menjadi apa yang diistilahkan dengan anomali.
Jadi posisi kita netral saja, tidak menyalahkan yang mana dan tidak pula harus anti dengan yang mana. Semuanya toh kembali kepada hujjah dan argumen para ulama yang bersifat ijtihadi.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1352862074&title=dzikir-ratib-al-haddad

Gambar dari : http://ruuhulhubbilaila.blogspot.com/p/download-ratib-shalawat-rukyahburdah.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya