Serial Muharram 1 : Khilafiyah Ritual Muharram



Oleh Ustad Ahmad Sarwat Lc., MA.
Meninggalkan bulan Dzulhijjah ini dan mulai memasuki Muharram, kita umat Islam biasanya tidak lepas dari tiga peristiwa di atas, yaitu ritual ibadah di bulan Muharram, peringatan tahun baru Islam dan peristiwa hijrahnya Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah. Ketiga peristiwa tersebut sering kali dianggap satu kesatuan, padahal sebenarnya masing-masing berdiri sendiri dan kejadiannya saling berbeda satu dengan yang lain.
Maka sebelum bicara tentang hal-hal yang berbau ketiganya, saya terbiasa membedakan dulu di antara ketiganya di awal pembicaraan, agar tidak simpang siur. Maksudnya, ritual dan amaliyah bulan khusus di bulan Muharram adalah sebuah tema dan pembahasan tersendiri, kemudian perkara tahun baru Islam juga merupakan topik tersendiri, dan terakhir tentang peristiwa hijrahnya Nabi SAW juga merupakan peristiwa yang berbeda, dan penuh dengan kajian tersendiri.
Rangkaian Ritual Ibadah Bulan Muharram
Sebenarnya ada cukup banyak ritual ibadah yang populer dilaksanakan umat Islam pada bulan Muharram, khususnya para tanggal 10 dari bulan itu. Umat Islam di Indonesia umumnya mengenal lebih dari 10 amalan yang dianjurkan, yaitu: [1] puasa, [2] shalat sunnah, [3] menyambung silaturrahim, [4] menziarahi orang alim, [5] mandi sunnah, [6] mengusap kepala anak yatim, [7] bersedekah, [8] memakai celak mata, [9] meluaskan belanja, [10] memotong kuku dan [11] membaca 1000 kali surat Al-Ikhlas.
Untuk itu ada dua bait syi'ir yang biasa dilafazkan oleh para kiyai dan dianjurkan untuk dikerjakan kepada para  santri, yaitu :
صم صل صل زر عالما ثم اغتسل *** رأس اليتيم امسح تصدق واكتحل

وسع على العيال قلم ظفرا *** وسورة الإخلاص قل ألفا تصل

Tidak ada seorang pun yang tahu siapakah yang menggubah bait-bait syi'ir di atas. Semua guru yang saya tanyakan, rata-rata hanya menggelengkan kepala tanda tidak tahu. Tetapi anehnya, tidak sedikit yang menghafalnya luar kepala. Sebagian ulama menukilkan bait itu tanpa menyebutkan siapa pemiliknya. Salah satunya bisa kita baca dalam kitab I‘anatut Thalibin, salah satu kitab yang banyak digunakan dalam mazhab Asy-Syafi‘iyyah, pada jilid 2 hal 267.
Banyak dari umat Islam yang terbiasa menghidupkan amal-amal baik di atas pada tiap tanggal 10  bulan Muharram. Walau pun sebenarnya kita agak kesulitan mencari dalil atas amalan-amalan ini, bila yang dimaksud adalah hadits-hadits yang shahih, dimana Rasulullah SAW secara langsung memerintahkan. Kebanyakan ulama mengatakan kalau pun ada hadits yang shahih tentang semua amalan itu, terbatas pada beberapa saja, salah satunya adalah puasa tanggal 9-10 Muharram, bersedekah. Selebihnya masih jadi perdebatan panjang tentang keshahihannya.
Saya sendiri tidak terlalu ingin meributkan keshahihan dalil-dalilnya, sebab itu buka domain saya. Biarlah nanti dibahas oleh para ulama muhadditsin yang pakar di bidangnya. Yang ingin saya sebutkan bahwa sebenarnya bila tanpa dikait-kaitkan dengan tanggal 10 Muharram, semua amalan di atas pada dasarnya adalah amalan yang baik dan tentu saja sangat besar pahala dan manfaatnya.

Dan tidak adanya dalil shahih tentang anjuran mengamalkan suatu ibadah atau sunnah pada tanggal tertentu, tidak lantas harus mengubah hukumnya menjadi haram atau bid'ah. Misalnya, tidak mentang-mentang kita tidak punya hadits shahih tentang disunnahkannya pada tanggal 10 Muharram untuk mengusap kepala anak yatim, lalu kita fatwakan bahwa haram hukumnya mengusap kepala anak yatim pada hari ini.
Lho kok tiba-tiba jadi haram?
Mengusap kepala anak yatim itu tentu sebuah perbuatan mulia. Saya yakin tidak ada satu pun ulama yang berbeda pendapat. Bahwa tidak ada hadits shahih yang menganjurkan kita mengusap kepala anak yatim pada tanggal 10 Muharram, itu sesuatu yang lain. Kita sepakat saja bahwa memang tidak ada hadits shahih, kalau dikerjakan hanya tanggal 10 Muharram. Kita juga sepakat bahwa hadits yang mengatakan bahwa ganjaran dari mengusap kepala anak yatim pada tanggal 10 Muharram seperti berbuat baik kepada seluruh anak yatim anak cucu Nabi Adam, sebagai sebuah hadits palsu.
Tetapi kalau sampai kita bilang bahwa haram hukumnya mengusap kepala anak yatim pada tanggal 10 Muharram, hanya gara-gara ada hadits palsu, berarti kita sudah keliru besar. Mengubah status hukum amalan sunnah menjadi haram, hanya gara-gara ada hadits palsu. Itu berarti kita justru telah menggunakan hadits palsu untuk mengharamkan suatu perbuatan. Dan perbuatan seperti ini jelas hukumnya haram.
Yang benar adalah kalau memang ada hadis palsu, dhaif atau bermasalah, maka kita wajib menjelaskan. Kalau perlu kita sebutkan tentang sebab-sebabnya sekalian. Ya hitung-hitung mengajarkan ilmu yang langka, yaitu ilmu mushthalah hadits, sekaligus rijal-nya. Tetapi kalau kesimpulannya adalah bahwa kita harus memboikot berbagai kebiasaan masyarakat yang sudah terlanjur berjalan, dengan tuduhan bid'ah dan tidak ada dalilnya, tentu lain lagi urusannya.
Kenapa?
Begini, mari kita buat perbandingan kecil-kecilan. Tiap tahun umat Islam di negeri ini selalu melakukan ritual pulang mudik saat lebaran. Mereka juga terbiasa saling kirim hadiah, parcel, kartu ucapan dan juga SMS. Bahkan setiap lebaran selalu ada pembagian uang tunjangan hari raya (THR), lalu ada kebiasaan saling mengunjungi rumah teman, sahabat, keluarga, orang tua. Dan tidak kalah menariknya, kita di Indonesia selalu tidak perlu lupa makan ketupat, opor, kue-kue khas lebaran. Bahkan perayaan halal bi halal juga tidak pernah ketinggalan diadakan.
Kalau saya boleh bertanya, adakah hadits shahih yang mendasari semua amalan di atas? Jawabnya jelas sekali, tidak ada satu pun perintah dari Nabi SAW. Artinya, semua kebiasaan di atas, tidak pernah dilandasi dengan hadits shahih.
Pertanyaannya, apakah kita akan bilang bahwa semua pernik lebaran yang tiap tahun dilakukan umat Islam adalah perbuatan munkar? bid'ah? sesat? masuk neraka? Tentu saja tidak. Saya belum pernah dengar ada orang yang berfatwa bahwa umat Islam di Indonesia pada masuk neraka gara-gara punya kebiasaan pulang mudik saat lebaran, karena tidak ada hadits shahihnya.
Saya juga tidak pernah dengar bahwa orang-orang yang merayakan syawalan pada hari ke-7 bulan Syawwal, pasti difatwakan masuk neraka, karena dianggap telah menciptakan hari raya di luar hari raya yang resmi.  Kebiasaan merayakan syawalan pada hari ke-7 di beberapa tempat, tentu tidak kita temukan dalam hadits shahih. Tetapi ketika orang merayakannya, kan juga tidak ada dalil yang mengharamkan. Begitu juga, ketika pada tanggal 10 Muharram banyak orang berbagi kasih dengan anak yatim, walau pun tidak ada dalil yang memerintahkannya secara khusus, tetapi kita tidak dibenarkan berfatwa haram atas kebiasaan di masyarakat. Sebab tidak ada juga dalil yang mengharamkan.
Kalau pun kita mau bicara, silahkan sampaikan ilmunya, bukan fatwa haram. Biar masyarakat tidak bingung, kok sedikit-sedikit haram, sedikit-sedikit bid'ah. Lha wong mau ngasih duit kepada anak yatim malah dibilang sesat dan bid'ah.
Ribet amat ya jadi orang Islam.
(bersambung)
Catatan Harry :
Tulisan ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman facebooknya di  http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.

Gambar dari : http://hizbut-tahrir.or.id/2012/11/14/refleksi-hijrah-menyongsong-perubahan-besar-dunia-menuju-khilafah/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya