Bolehkah Menyembelih Aqiqah untuk Diri Sendiri?
Ada pertanyaan yang tidak pernah berhenti ditanyakan orang, yaitu apakah boleh
seseorang menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri. Barangkali karena
dahulu orang tuanya tidak sempat menyembelihkan aqiqah untuknya. Bahkan
pertanyaannya sudah sampai kepada pertanyaan, apakah wajib bagi kita untuk
menyembelih aqiqah karena dahulu orang tua belum menyembelihkan aqiqah?
Dan jawabannya selalu berbeda-beda, tergantung siapa yang menjawabnya. Di
satu sisi, ada pendapat yang mengatakan bahwa penyembelihan itu hanya
disyariatkan untuk orang tua, sehingga si anak malah tidak perlu melakukannya.
Namun di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan tidak mengapa bila seorang
anak melakukan untuk dirinya sendiri. Untuk itu biar tidak membingungkan, maka
mari kita kumpulkan saja pendapat-pendapat itu dan kita teliti satu per satu.
Setidaknya memang ada dua pendapat dalam hal ini, dimana para ulama, yang
levelnya sudah sampai ke tingkat mujtahid betulan, masih berbeda pendapat.
Kalau kita buka kitab fiqih, maka kita akan mendapatkan rincian perbedaan
pendapat itu.
1. Boleh Dilakukan
Sebagian ulama memandang bahwa mengaqiqahi diri sendiri
adalah hal yang dibenarkan dalam syariat Islam. Di antara yang berpendapat
demikian adalah Ar-Rafi’i, Al-Qaffal, Muhammad bin Sirin, Atha’ dan Al-Hasan
Al-Bashri. Ar-Rafi'i, ulama dari kalangan mazhab Asy-yafi'iyah mengatakan
apabila seseorang mengakhirkan dari menyembelihkan aqiqah untuk anaknya hingga
anaknya telah baligh, maka telah gugurlah kesunnahan dari ibadah itu. Namun
bila anak itu sendiri yang berkeinginan untuk melakukan penyembelihan aqiqah bagi
dirinya sendiri, tidak mengapa.
Pendapat Ar-Rafi’i ini juga dikuatkan oleh pendapat
Al-Qaffal, yang juga merupakan salah seorang dari fuqaha mazhab Asy-Syafi'iyah.
Beliau ikut membenarkan hal itu meski tidak mewajibkan. [1] Diriwayatkan dari
Al-Hasan Al-Bashri bahwa beliau berfatwa : apabila seorang ayah belum
menyembelihkan hewan aqiqah bagi anaknya yang laki-laki, maka bila nanti
anaknya itu dewasa dan punya rejeki, dipersilahkan bila ingin menyembelih hewan
aqiqah yang diniatkan untuk dirinya sendiri. Fatwa ini bisa kita temukan
tertulis di dalam kitab Al-Muhalla. [2]
Di dalam kitab Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani diriwayatkan bahwa Muhammad Ibnu Sirin pernah berfatwa : Seandainya
saya tahu bahwa saya belum disembelihkan aqiqah, maka saya akan melakukannya
sendiri. [3] 'Atha' berkata bahwa tidak mengapa bila seseorang melakukan
penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, sebab dirinya menjadi jaminan (rahn).
Di antara dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini :
أَنَّ النَّبِيَّ عَقَّ
بِنَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ
Bahwa Nabi SAW menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri
setelah diangkat menjadi nabi. (HR. Al-Bazzar)
2. Tidak Perlu
Ketika Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah ini,
yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri,
lantaran dahulu orang tuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa
hal itu tidak perlu dilakukan hal itu. Alasannya, karena syariat dan perintah
untuk menyembelih hewan aqiqah itu berada di pundak orang tuanya, bukan berada
di pundak si anak. Sehingga si anak tidak perlu mengerjakannya meski dirinya
mampu ketika sudah dewasa. Salah satu ulama pengikut mazhab Hanbali, Ibnu
Qudamah berkata, "Menurut kami,
penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orang tua dan orang lain
tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr”. [4]
Di antara dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah SAW
sendiri tidak pernah menyembelih aqiqah untuk diri beliau, meski sejak kecil
tidak pernah disembelihkan aqiqah. Begitu juga beliau tidak pernah
memerintahkan para shahabat yang waktu kecilnya belum pernah disembelihkan
aqiqah agar masing-masing menyembelih aqiqah untuk diri mereka. Sedangkan
hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menyembelih hewan aqiqah
untuk dirinya sendiri, setelah beliau diangkat menjadi utusan Allah, oleh para
kritikus hadits dianggap sebagai hadits yang lemah dan menuai hujan kritik.
Titik masalahnya ada pada perawi yang bernama Abdullah bin
Muharrar. Al-Hafidz Ibnu Hajah Al-Asqalani menyebutkan hadits ini matruk.
As-Syaukani berpendapat boleh saja seseorang menyembelih aqiqah untuk dirinya
sendiri, asalkan hadits itu shahih. Masalahnya, menurut beliau, hadits itu
sendiri bermasalah. Asy-Syaukani menyebutkan hadits itu mungkar. Al-Imam
An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa
hadits ini batil.
Namun mereka yang membela pendapat dibolehkannya menyembelih
hewan aqiqah untuk diri sendiri punya jawaban yang tidak kalah kuatnya. Mereka
menyebutkan bahwa hadits yang dipermasalahkan tetap shahih, karena ada
periwayatan lewat jalur lain yang dishahihkan oleh para ulama. Dalam hal ini,
Al-Haitsami menyebutkan di dalam kitab Majma’ Az-Zawaid, bahwa hadits ini
memang punya dua jalur periwayatan.
Pertama adalah jalur yang banyak didhaifkan oleh para ulama,
yaitu lewat jalur Abdullah bin Al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas yang
diriwayatkan secara marfu. Kedua, adalah jalur yang shahih dan tersambung
kepada Anas, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdillah bin Al-Mutsanna, dari
Tsumamah, dan Anas.[5]
Ahmad Sarwat, Lc MA
------------------------------ ----------
[1].
Syarah Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari jilid 9
hal. 594-595
[1].
Ibnu Hazm, Al-Muhalla bin Atsar, jilid 6 hal.
240
[2].
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9
hal. 489
[3].
Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 8 hal. 646
[4].
Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawaid, jilid 4 hal. 59
Catatan Harry :
Tulisan
ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang
saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah
semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman
facebooknya di http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.
Gambar dapat dilihat di http://pioner2b.wordpress.com/author/pioner2b/page/3/
Komentar
Posting Komentar