Rambut dan Kuku saat Qurban
Bolehkah seorang yang sudah berniat menyembelih hewan qurban untuk
mencukur rambut dan memotong kuku?
Suatu hari di HP saya tertulis ada miscall
dari seorang ustadz dan tokoh pergerakan, murabbi dari banyak tokoh besar.
Segera saya telpon balik dan suara di seberang sana setelah mengucapkan salam,
langsung menyampaikan sebuah pertanyaan dengan dialek betawi khas.
"Binaan-binaan ane pada nanya, itu hukumnye pegimane ye, katenye
kalo kita udah niat korban kagak bole potong kuku ame rambut ye?. Ane bingung
jawabnye. Mangkenye ane teleon antum, pengen nanyain duduk persoalannye, biar
jelas dan terang".
Pertanyaan semacam ini nyaris hampir setiap hari disampaikan kepada saya.
Sampai-sampai saya sudah bisa menebak kalau hari-hari ini ada yang mau
bertanya, kadang sambil bercanda saya bilang, "Mau tanya urusan potong
kuku dan rambut ya?".
Biasanya yang mau tanya jadi bertanya, "Lho kok ustadz tahu?".
Dan jawaban saya biasa saja, sesuai dengan prosedur standar, yaitu dimulai dari
kalimat pembuka yang bunyinya : Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini
bla bla bla. Nah apa isi bla bla bla nya itu, silahkan baca tulisan berikut ini
:
Ada sebuah hadits shahih dari riwayat Al-Imam Muslim yang menjadi cikal
bakal perbedaan pendapat, yaitu :
إِذَا دَخَل الْعَشْرُ وَأَرَادَ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ
يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ
مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا
Bila telah memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kuku-kukunya. (HR. Muslim)
Dalam menarik kesimpulan hukumnya, para ulama berselisih pendapat pada
tiga level yang berbeda.
Perbedaan Level Satu :
Perbedaan level satu adalah perbedaan yang paling awal, yaitu kuku dan
rambut siapa yang tidak boleh dipotong, hewan qurbannya atau pemiliknya.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa yang tidak boleh potong kuku dan rambut
adalah hewannya dan bukan orangnya. Maksudnya, kalau kita sudah niatkan kambing
kita untuk dijadikan persembahan qurban, maka jangan lagi diambil manfaatnya,
baik bulunya atau lainnya. Maksudnya, agar kita tidak menelan ludah yang sudah
kita keluarkan.
Pendapat kedua sebaliknya, yang diharamkan memang memotong kuku dan
rambut orang yang menyembelih qurban dan bukan kuku dan rambut hewannya.
Perbedaan Level Dua :
Perbedaan pendapat level dua terjadi kalau pada level pertama di atas
kita memilih pendapat yang kedua, yaitu yang diharamkan untuk memotong kuku dan
rambut adalah orang yang punya hewan. Di level kedua ini letak titik
perbedaannya adalah dalam keadaan apakah keharaman ini berlaku, apakah ketika
sedang berihram atau berlaku secara umum.
Pendapat pertama mengatakan bahwa yang diharamkan untuk memotong kuku dan
rambut hanya sebatas mereka yang sedang berhaji, khususnya sedang berihram.
Jadi menurut pendapat ini sabda Rasulullah SAW disampaikan di depan para jamaah
yang sedang berihram, dan tidak berlaku buat sembarang orang.
Pendapat kedua mengatakan bahwa keharaman ini berlaku universal, tidak
hanya terbatas pada mereka yang sedang berihram saja, tetapi siapa saja meski
sedang tidak berihram, asalkan berniat menyembelih hewan qurban, maka
berlakulah larangan memotong kuku dan rambut.
Perbedaan Level Tiga :
Seandainya pada perbedan level dua di atas, kita memilih pendapat yang
kedua, yaitu larangan berlaku buat umum tidak terbatas hanya kepada yang sedang
berihram, maka perbedaan pendapat berikutnya pada level tiga ini adalah : Apa
status larangannya, sekedar makruh saja kah atau sampai kepada haram?
Pendapat pertama mengatakan larangan itu berstatus makruh dan tidak
sampai kepada haram. Artinya, seandainya terjadi pelanggaran, hukumnya tidak
berdosa, hanya kurang disukai saja.
Pendapat kedua mengatakan larangan itu berstatus haram, sehingga bisa
sampai ada yang secara sengaja melanggarnya, maka hukumnya berdosa.
Selain pembagian perbedaan pendapat di atas, kadang saya menjawab dengan
menyebutkan perbedaan pendapat dengan pembagian yang lain lagi, yaitu ada yang
bilang haram, makruh dan mubah.
1.
Pendapat Pertama : Haram Cukur Rambut dan Potong
Kuku
Di antara mereka yang mengharamkan adalah Sa’id bin Al
Musayyib, Rabi’ah, Imam Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian murid-murid Imam
Asy-Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa larangan memotong rambut dan kuku bagi
shahibul qurban dihukumi haram sampai diadakan penyembelihan qurban pada waktu
penyembelihan qurban. Pendapat pertama yang menyatakan haram mendasarinya pada
hadits larangan shahibul qurban memotong rambut dan kuku yang telah disebutkan
dalam fatwa Lajnah Ad-Daimah.
2.
Pendapat Kedua : Tidak Haram Hanya Makruh
Pendapat kedua menyatakan bahwa larangan di dalam hadits itu
tidak sampai haram, melainkan makruh yaitu makruh tanzih. Ini adalah pendapat
Imam Asy Syafi’i dan murid-muridnya yang lain lagi.
Pendapat kedua ini didasarkan hadits ‘Aisyah yang menyatakan
bahwa Nabi SAW pernah berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah
halalkan hingga beliau menyembelih qurbannya di Makkah. Artinya di sini, Nabi
SAW tidak melakukan sebagaimana orang yang ihram yang tidak memotong rambut dan
kukunya. Ini adalah anggapan dari pendapat kedua. Sehingga hadits di atas
dipahami makruh.
3.
Pendapat Ketiga : Halal Tidak Haram
Pendapat ketiga secara tegas menyatakan tidak ada larangan
untuk mencukur rambut dan memotongkuku. Di antara yang berpendapat seperti ini
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka menyatakan tidak makruh sama sekali. Imam
Malik dalam salah satu pendapat menyatakan bahwa larangan ini makruh. Pendapat
beliau lainnya mengatakan bahwa hal ini diharamkan dalam qurban yang sifatnya
sunnah dan bukan pada qurban yang wajib.
Hikmah Larangan
Menurut mereka, di antara hikmah larangan di sini adalah agar
rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya makin banyak
dari anggota tubuh ini terbebas dari api neraka. Ada pula ulama yang mengatakan
bahwa hikmah dari larangan ini adalah agar tasyabbuh
(menyerupai) orang yang muhrim (berihram). Namun hikmah yang satu ini
dianggap kurang tepat menurut ulama Syafi’iyah karena orang yang berqurban beda
dengan yang muhrim. Bukankah orang yang berqurban masih boleh mendekati
istrinya dan masih diperbolehkan menggunakan harum-haruman, pakaian berjahit
dan selain itu, berbeda halnya orang yang muhrim.
Catatan Harry :
Tulisan
ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang
saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah
semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman
facebooknya di http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.
Gambar dapat dilihat di http://hermanmoslem.blogspot.com/2009/11/apakah-hukum-menerima-hewan-korban-yang.html
Komentar
Posting Komentar