Hikayat Meja Kerja





Senin pagi ini tumben sekali bos saya lewat depan meja saya, memperhatikannya lalu bilang : "mejamu engga Lima Es tuh!".
Saya seperti biasa saja, menjawab dengan bergumam :"iya yah.." Sambil tersenyum khas-senyum yang menyimpan jawaban-kemudian pergi berlalu untuk sholat duha seperti biasa. Selesai itu saat akan berganti pakaian saya terkejut melihat gantungan baju saya diisi baju lain yang disimpan sekenanya atau seenaknya. Melihat locker room yang berantakan saya jadi ikut bergumam : "engga Lima Es banget sih!".
Sebenarnya kita semua sudah terbiasa dengan aneka sistem manajemen import seperti 5S itu. Selain itu ada juga ISO, OHSAS, ISPS maupun yang versi lokal seperti SNI, SMK3, ProPer, SMP dan aneka variannya. Tapi rasanya kita itu terbiasanya terbiasa mendengar, terbiasa melihat atau terbiasa diaudit bukan terbiasa mengaplikasikan.
Saat ini hampir semua perusahaan sudah memasukkan Sistem manajemen sebagai bagian dari strategi dan proses bisnisnya. Rasanya hampir semua organisasi punya “dinding pemujaan” yang khusus dihiasi oleh plakat dan sertifikat sistem ini dan sistem itu. Demi memenuhi dahaga ber-sistem dan ber-standar organisasi-organisasi ini maka lembaga pelatihan dan sertifikasi pun didirikan di banyak kota besar dan senantiasa laku setiap kelasnya.
Saya hanya menceritakan pengalaman dari perjalanan diri sendiri saja di sini, jadi pasti banyak yang tidak setuju dengan pendapat yang saya tulis. Terus kalau kamu tidak setuju saya harus bilang wow sambil koprol gituh?! Tinggal tulis saja tanggapanmu di kolom komentar, kawan!
Lack of Competency..
Judulnya provokatif yah? Bukannya banyak anggota organisasi adalah sarjana atau ahli-ahli profesional berpengalaman? Kok bisa sih judulnya begitu?
Maksud saya, competency di sini adalah kompetensi tentang sistem yang ditempel sertifikatnya di dinding itu. Di organisasi biasanya ada orang-orang yang memang di-poskan di satu tempat yang mengurus sistem manajamen tersebut. Biasanya lagi, mereka inilah yang dianggap paling tahu, harus tahu dan membuat yang lain boleh tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang urusan ini. Akibatnya bisa ditebak, mereka, para penjaga sistem ini, akan selalu dibuat sibuk tiap saat mau audit dengan aneka pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan andai semua anggota tahu apa yang harus dilakukan dalam sistem.
Lack of Commitment..
"Inspiration is what gets person started, motivation is what keeps him on the track and habits is what makes it automatic". (Shiv Khera)
Sebenarnya ruang ganti saya yang berantakan bukan kejutan pertama di pagi hari. Bos saya yang mungkin baru sempat menegur juga bukan hal baru. Kalau kertas HVS otretan atau pulpen entah punya siapa bergelimpangan mah biasa, saya pernah dapat kejutan pagi yang lebih seru lagi : bungkusan snack, botol minuman kosong sampai puntung rokok pernah mampir di meja kerja saya yang klasik itu. Mungkin teman-teman yang tidak kenal saya akan menyimpulkan kalau saya sudah terkena virus "insinyur franchise" sehingga nekat mengubah meja menjadi warkop demi menjajal jiwa wirausaha!
Awalnya saya mangkel juga sering membereskan kekonyolan orang lain, lama kelamaan saya berfikir ini adalah ladang amal sehingga saya jadi lebih ringan mengerjakannya. Apalagi saat sudah jadi kebiasaan, serasa ada yang hilang kalau pagi-pagi saya datang dan meja saya bersih mengkilap. Kalau kita bersyukur maka nikmat-Nya akan ditambah kata Ustad di tivi. Benar saja dari keadaan meja kerja itu saya malah mendapat inspirasi untuk menulis ini.
Inspirasi itu tidak jalan sendiri lho, dia diantar oleh sepatu saya yang sempat merantau ke mana-mana sebelum kembali dalam keadaan lecek, sendal-sandal kami yang sering lupa jalan pulang hingga tak kembali dan sepeda yang tiba-tiba lenyap seperti terkena ninjutsu Yondaime Hokage sehingga bisa berpindah tempat hampir satu kilometer. Hasilnya saya berani mengatakan muara semua itu adalah komitmen bukan kompetensi!
Menarik ya? Jadi begini, orang yang berkomitmen pada kebersihan akan membersihkan gelas yang dia pakai apalagi jika dia sadar itu gelas yang juga dipakai bersama-sama. Komitmen pada keselamatan kerja membuat perokok aktif berhati-hati memantik api. Komitmen pada ketertiban akan membuat orang meminta izin jika ingin meminjam sendal kawannya atau paling tidak dia akan mengembalikannya ke tempatnya. Komitmen pada lingkungan hidup akan menjaga seseorang dari merusak lingkungan seperti hobi membuang sampah sembarangan atau memasukkan sampah tidak pada kelasnya (jika pemisahan sampah telah dilakukan). Komitmen pada Islam akan membuat seseorang menjaga lisan, badan dan hatinya dari larangan Allah SWT.
Banyak kerusakan terjadi bukan karena orang tidak tahu tapi karena tidak peduli, kepedulian adalah rukunnya komitmen. Kita melihat bagaimana ketidak pedulian yang dipraktekkan secara berjamaah membawa lingkungan perlahan-lahan menjauh dari ketertiban. Semua orang kan menunjuk orang di sebelahnya jika sesuatu terjadi akibat kelalaiannya atas ketertiban bersama. Lalai mematikan tivi setelah adzan magrib membuat generasi muda menjadi sangat jauh dari agama. Mereka merasa nyaman dengan pemahaman sekuler nan sempit dan akan segera naik pitam kalau ada yg memberi nasihat keagamaan, apalagi jika sang pemberi nasihat lebih rendah kedudukannya. Hebatnya mereka lah kiniyang akan atau sedang naik memegang tampuk tanggungjawab kepemimpinan kita.
Lack of Leadership..
Saya pernah jalan-jalan di perusahaan-perusahaan yang kebetulan pegawainya banyak sekali terdapat Kaum Ahli Hisap alias Perokok berat. Mereka mengaku lebih baik tidak makan dan tidak mandi asal masih bisa merokok sehari.  Di sana para Ahli hisap itu hanya menikmati rokoknya selama waktu yang ditentukan dan itupun dilakukan di luar ruangan, tidak ada ruang merokok mewah macam di instansi-instansi negeri apalagi excuse boleh merokok karena kedinginan di ruang ber-AC. Maka tidak seperti Bus ekonomi jurusan Probolinggo-Madura yang dijamin berkabut sepanjang jalan, kantor, lorong, lab dan gudang perusahaan itu sangat sejuk. Yang rada aneh menurut saya, beberapa anggota kaum ahli ini duduk di posisi yang cukup lumayan, yang kira-kira kalaupun dia merokok di ruangannya tidak ada yang berani menegur.
Tapi mereka ternyata patuh luar biasa pada aturan itu. Tidak ada pegawai wanita yang menutup hidungnya dengan sapu tangan apalagi memakai SCBA (Self contained breathing apparatus) untuk melewati "daerah terkontaminasi" karena seluruh wilayah udaranya bersih. Penentangan pada aturan adalah Finalti, itu artinya nilai jelek, turun gaji atau kehilangan pekerjaan.
Lain judulnya kalau teman-teman Ahli hisap itu mampir ke Terminal, Stasiun kereta atau bahkan Bandara, mereka kembali menjadi ahli hisap sejati. Tahukan bagaimana pengapnya stasiun dan terminal kita? Bahkan bandara yang sudah ada embel-embel internasionalnya-pun berkabut jua, untung tidak sampai membuat gagal take-off atau landing pesawat terbang.
Perbedaan di kedua tempat tadi jelas bukan semata-mata Competency atau komitmen karena kawan-kawan saya itu jelas berCompetency dan berkomitmen. Perbedaan mendasar adalah tempat dan karakter yang melingkupinya. Di bawah karakter ada satu kata yang mempersatukan semua elemen itu : Leadership.
Kepemimpinan bukan berarti bintang di pundak, tongkat komando ditenteng atau jabatan di depan nama bersama ajudan di belakangnya. Kepemimpinan adalah jiwa suatu tempat, perekat sebuah komunitas dan pemegang kompas sebuah perjalanan. Saya bukannya sedang membahas bagaimana performa seorang pemimpin dalam organisasi walau pada akhirnya akan bermuara ke sana.
Kepemimpinan menurut saya adalah cara mengoptimalkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan. (1) Seorang anak balita dengan tangisan dan ekspresinya sehingga berhasil membuat ibunya membelikannya mainan adalah pemimpin bagi ibunya. (2) Seorang ibu yang tetap tidak membelikan mainan walau anaknya telah menangis dengan berbagai posisi dan gaya adalah pemimpin bagi anaknya. Perbedaannya adalah di kasus (1) anak itu memimpin dengan visi jangka pendek : mendapatkan mainan; di kasus (2) si ibu memimpin dengan visi jangka panjang : mencegah anak menjadi manja dan materialistis. Posisi ibu yang secara administrative dan normatif lebih tinggi dari si anak tidak jadi soal dalam kasus (1). Juga urusan kejam atau welas asih tidak perlu dibahas dalam kepemimpinan karena itu semata-mata GAYA, walau kebanyakan orang malah tertipu oleh Gaya belaka!
Jadi kepemimpinan itu berlangsung 360 0 sesuai jangkauan kita; tanpa memerlukan pangkat dan jabatan walau dengannya kepemimpinan akan berlangsung lebih mudah; parameternya proses dan dimensinya tujuan.
The Law of Mirror..
Akhirnya Hikayat meja kerja saya ini harus saya tutup dalam sebuah paragraf saja :
Pengetahuan tentang kerapian adalah bekal bagi seseorang untuk membuat meja saya bersih. Namun itu hanya akan terjadi bila seseorang itu punya cukup komitmen untuk melaksanakannya. Jika komitmennya terlampau sedikit sehingga tidak dapat menggerakkan hati dan badannya untuk menghormati meja kerja tersebut maka diperlukan kepemimpinan yang mampu menggerakkannya. Dan kepemimpinan yang dimaksud bisa datang dari arah mana saja.
Saya harap kamu mengerti tulisan saya ini. Walau saya sendiri masih bingung bagaimana menulis ini bisa membuat meja saya kembali rapi jali. Apalagi saya semakin khawatir kalau satu-satunya yang tidak berCompetency dan berkomitmen dengan kerapian di meja saya adalah diri saya sendiri.
Wallaahua'lam.
231012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya