Dahsyatnya Umat Islam



Oleh : Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA.

Siapa bilang umat Islam itu lemah dan tidak berdaya?
Siapa bilang umat Islam tidak punya kekuatan untuk menekan dan mengubah merah biru wajah negara?
Salah satu bukti betapa perkasanya umat Islam di negeri ini adalah fenomena lebaran dan pulang mudik. Umat Islam di Indonesia ini sebenarnya sangat gagah perkasa. Kalau sudah punya keinginan dan hajat, tidak ada satu pun kekuatan yang bisa menghalanginya. Kalau kita cermati, acara lebaran dan mudik yang menjadi ritual tahunan ini berlangsung benar-benar dahsyat. Setidaknya, meski pemerintah hanya menetapkan libur resmi dua hari (seperti tertera pada kalender), tapi dalam kenyataannya nyaris libur mudik lebaran ini bisa sampai setengah bulan. Sejak H-7 sudah terjadi arus mudik, dan masih ada arus balik setidaknya sampai H+7.
Kita tidak bisa membayangkan kalau lebaran dan mudik itu benar-benar hanya diberi jatah 2 hari libur secara ketat. Mungkin akan terjadi chaos dan revolusi massal. Pemerintah dan negara sama sekali tidak berdaya untuk menghambat satu hajatan besar umat Islam ini. Justru yang terjadi malah ikut-ikutan dibuat repot. Hampir semua perangkat negara ikut sibuk mengurus hari raya umat Islam ini.
Jauh-jauh hari, dinas PU sudah dibikin pusing untuk memperbaiki jalan (atau malah bahagia karena dapat proyek?). Kementerian perhubungan juga sibuk mengatur arus lalu lintas. Kementerian Agama sudah pasti yang paling sibuk. Kementerian Keuangan juga tidak kalah sibuknya. Dan yang paling sibuk adalah bapak-bapak polisi, yang konon tidak boleh cuti selama lebaran dan musik arus mudik dan arus balik. Jelas dan pasti bahwa uang negara pun banyak keluar untuk kepentingan mudik. Bahkan mobil-mobil dinas pun ikut terpakai juga, meski pun sekedar untuk mudik keluarga ke kampungnya, dengan biaya serta resiko ditanggung oleh yang bersangkutan. Tetapi mobil dinas itu tetap saja aset negara.
Padahal, kalau kita runut ke dalam kajian syariah, mudik lebaran yang gegap gempita itu justru tidak wajib-wajib amat. Malah sebenarnya tidak ada satu pun ayat atau hadits yang secara spesifik memerintahkannya. Kita tidak menemukan sepotong hadits pun yang misalnya berbunyi : Wahai umatku, bila Ramadhan hampir usai, jangan lupa mudik, karena mudik itu berkah. Jangankan hadits dhaif, hadits palsu pun juga tidak kita temukan selama ini, yang isinya perintah atau anjuran untuk mudik lebaran.
Dan dalam kenyataannya, selama merantau di Madinah 10 tahun, Rasulullah SAW belum pernah 'mudik' ke Mekkah pas Lebaran, sebagaimana mudik yang kita kenal sekarang.

Tetapi memang begitulah, mudik sudah menjadi hajatan bersama umat Islam di Indonesia. Dan tidak ada satu pun kekuatan yang bisa menghalangi fenomena mudik. Bahkan meski umat Islam terpecah dalam penetapan awal Ramadhan dan lebaran, tetapi urusan mudik rasanya sudah menjadi 'ijma' yang semua sepakat bulat tentang keharusannya. Semua mazhab, kelompok, ormas, aliran, ajaran, partai, dan elemen umat kompak untuk mudik.  NU dan Muhammdiyah yang mewakili dua kelompok besar umat Islam dan kalau tarawih suka berbeda bilangan rakaatnya, tapi kalau sudah bicara tenang keharusan mudik, mereka jadi akur, dalam arti sama-sama jadi pendukung fanatik mudik.
Bahkan kalangan salafi yang sebenarnya juga terdiri dari banyak aliran pun sepakat pada saat lebaran pada mudik semua. Saya belum mendengar ada tokoh salafi, dari kelompok mana pun, yang berfatwa bahwa mudik itu haram atau bid'ah dhalalah. Padahal mudik itu termasuk perbuatan yang tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah. Biasanya mereka berkata, kalau lah suatu amal itu baik, seharusnya ada contoh dari beliau SAW. Tapi khusus untuk mudik yang tidak ada contoh amal dari beliau SAW, barangkali ada pengecualian atau bagaimana, wallahu a'lam.
Kalangan JIL yang liberal yang suka usil mengoprek syariah, nampaknya juga kompak mendukung mudik. Biasanya mereka suka mengubah-ubah isi perut syariah, sehingga membuat umat Islam mual dan kesal. Tetapi khusus untuk mudik, mereka kelihatannya ikut berjamaah.
Kalangan aliran sesat pun nampaknya ikut mendukung mudik. Bahkan mereka yang jatuh cinta kepada ahlul bait dan suka mengkafirkan Aisyah radhiyallahuanha serta para shahabat lainnya, khusus untuk mudik, mereka tidak berbeda dan ikut aktif mudik juga. Semua bersatu dalam mudik. Sungguh luar biasa mudik itu.
Lalu apa maksud tulisan  ini?
Apakah saya ingin berfatwa tenang masyru'iyah mudik, bahwa mudik itu misalnya sunnah, atau wajib atau mubah?
Jawabnya tidak dan bukan itu maksudnya. Saya cuma ingin bilang bahwa kalau umat Islam sudah punya suara bulat dan hajat yang sama, maka tidak ada satu pun kekuatan yang bisa menghalangi. Bahkan negara dan pemerintah pun tidak bisa berkutik, ujung-ujungnya malah ikut membantu dalam menyukseskannya.
Maka saya berpikir, seandainya umat Islam juga sekompak itu dalam urusan penerapan syariat Islam, seperti katakanlah kehendak bersama 230-an juta umat Islam untuk menerapkan hukum jinayat secara formal dan hukum positif di negara ini, pasti sangat bisa dan sangat mudah. Syaratnya tentu asalkan seluruh umat Islam sama-sama berhajat untuk menerapkan hukum Allah SWT, sebagaimana hajat mereka untuk pulang mudik di atas. Dan kalau sudah seperti itu, pasti tidak ada yang bisa menghalangi. Maka hukum jinayat seperti potong tangan pencuri, rajam pezina, cambuk peminum khamar, qishash pembunuh dan seterusnya, dengan mudah bisa diterapkan. Tidak ada yang menolak atau memandang dengan kaca mata negatif.
Namun justru disitulah titik masalahnya. Kalau untuk urusan mudik yang tidak ada ayat dan haditsnya, umat Islam sebegitu kompaknya, pertanyaannya adalah : kenapa untuk menjalankan syariat Islam yang jelas-jelas WAJIB itu malah tidak bisa?
Mengapa justru yang menghalangi ditegakkannya syariat Islam itu malah umat Islam sendiri? Mengapa yang membenci hukum jinayat Islam itu malah para ustadz, kiyai dan tokoh agama?
Dan satu pertanyaan besar : kenapa semua usaha untuk menegakkan syariat Islam lewat dakwah parlemen tidak pernah menang?
Masyumi di masa Soekarno tidak pernah mendapat suara yang layak dari bangsa muslim terbesar ini. PPP di zaman Soeharto pun tidak pernah mendulang suara umat Islam. Dan ketika Soeharto lengser, ada lusinan partai Islam yang mengaku menjadi wadah aspirasi umat Islam. Tapi nyatanya tidak ada satu pun partai Islam yang menang.
Pertanyaannya lagi : Apa yang terjadi pada umat Islam?
Bagaimana mungkin urusan mudik yang tidak ada dalilnya bisa sedemikian dahsyat kehendaknya, tetapi urusan tegaknya syariah yang wajib 100% malah tidak kompak dan cenderung antipati, bahkan tegas menolak?
Jawabannya sederhana sekali, yaitu karena tegaknya syariat Islam tidak pernah diwacanakan, dan juga tidak pernah disosialisasikan. Kenyataannya, 230-an juta bangsa muslim ini tidak pernah mendapatkan hak mereka untuk mengenal syariat Islam.
Jadi bagaimana mereka bisa mengusung syariat?
Coba kita pikirkan baik-baik, kapan seorang muslim Indonesia punya kesempatan belajar syariah, sejak lahir sampai masuk kuburan?
Jawabnya jelas, umat Islam tidak punya kesempatan belajar syariah. Majelis taklim dan pengajian yang begitu banyak digelar, nyaris tidak ada yang materinya menyentuh tentang hukum-hukum syariah. Entah sekedar kelalaian, atau memang nara sumbernya tidak kompeten mengajarkannya. Meski di TV bejibun ustadz tampil dengan berbagai tingkah, gaya dan akting, masih ditambah dengan badut dan pelawak, tapi seingat saya belum ada yang bicara tentang hukum syariat Islam. Materi khutbah Jumat yang sudah pasti digelar pekanan, nyaris tidak pernah menyentuh hukum syariah.
Maulid Nabi, Isra' Mikraj, Nuzulul Quran, Muharram adalah even-even besar umat Islam. Biasanya diisi dengan beragam ceramah dan pengajian. Tetapi masih belum sedikit pun menyentuh tema syariah dan hukum Islam.  Guru agama dan dosen agama tidak mengajarkan syariah. Meski pelajaran Pendidikan Agama Islam itu wajib, bahkan di jenjang kuliah menjadi MKDU, tetapi pelajaran itu nyaris tidak pernah melahirkan siswa atau mahasiswa yang melek syariah.
Entah salahnya dimana, yang pasti opini yang terbentuk tetap tidak berubah, bangsa ini tetap benci, curiga dan antipati dengan syariah. Bahkan tiap dengar istilah hukum syariah, pikirannya langsung membayangkan hukum rajam, penggal, atau potong tangan. Hukum syariah dalam benak sebagian besar umat Islam tidak lain hanya hukum padang pasir yang tidak menghargai nyawa manusia.
Sebaliknya, hukum barat (baca : Belanda) tidak pernah dikesankan demikian. Padahal hukum barat itu asli produk penjajah yang telah merampok dan merampas kekayaan umat Islam selama tidak kurang dari 350 tahun lamanya. Kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah tiap tahun kita rayakan, tetapi hukum mereka tetap kita SEMBAH dengan sepenuh hati dan penghambaan. Anehnya, beberapa hukum yang berlaku di negeri kita masih mengacu kepada hukum Belanda, sementara di Belanda sendiri hukum itu sudah tidak belaku. Betapa anehnya kita, produk usang warisan kolonial kita perlakukan dengan begitu sucinya, sehingga kita keramatkan dan kita agung-agungkan sedemikian rupa.
Pertanyaanya : Kok bisa begitu ya?
Jawabnya sederhana, semua itu sunnatullah dan masuk akal serta sangat wajar. Lihatlah Belanda sang penjajah itu, meski mereka menjajah, tetapi mereka mendirikan sekolah di negeri kita. Ada ribuan rakyat pribumi yang beragama Islam menempuh  pendidikan dan bersekolah di lembaga milik Belanda. Siswa siswi itu tiap hari shalat, puasa, zakat bahan tidaksedikit yang bergelar haji, tetapi yang mereka pelajari justru hukum-hukum kafir Belanda. Belanda sukses melahirkan ribuan sarjana hukum taat dan fanatik. Bahkan proses itu masih terus berlangsung setelah Belanda hengkang dari negeri kita.
Boleh dibilang, semua lembaga pendidikan, mulai dari sekolah sampai perguruan tinggi di negeri kita sampai hari ini masih mengajarkan hukum-hukum warisan kolonial. Bahkan bukan hanya sekolah umum, justru di sekolah-sekolah Islam, pesantren dan kampus-kampus Islam, masih setia mengajarkan hukum-hukum Belanda. Meski kampus itu milik umat Islam, tetapi fakultas hukumnya tetap setia mengajarkan hukum Belanda. Jadi kalau yang masih bertahta adalah hukum Belanda, saya bilang itu memang sunnatullah. Karena umat Islam memang tidak pernah merasa perlu mensosialisasikan syariatnya sendiri. Ilmu syariat dan hukum-hukumnya terkesan menjadi barang haram di negeri muslim terbesar di dunia ini.
Lalu apa solusinya?
Mudah saja. Ajarkan ilmu syariah dan hukum Islam di semua lini. Mulai dari TK/TPA, SD, Madrasah Ibtidaiyah, SMP, Madrasah Tsanawiyah, SMU/SMK atau Aliyah dan sederajat, serta di perguruan tinggi mulai jenjang S1, S2 dan S3. Majelis taklim, pengajian dan perayaan-perayaan agama harus mulai menyentuh tema-tema syariah. Termasuk para ustadz dan da'i seleb yang rajin nongol di TV dan radio, mereka kudu belajar lagi tentang ilmu syariah, dan mulai membahas tema-tema syariah.
Intinya, ayo kita lahirkan generasi berikut sebagai generasi yang melek syariah, paham, mengerti, dan cinta syariah.
Wallahul-musta'an.

Jakarta,18 Agustus 2012

Catatan Harry :
Tulisan ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman facebooknya di  http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.

Gambar dari http://spektrumdunia.blogspot.com/2012/07/tips-persiapan-sebelum-mudik-lebaran.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya