Kapan Kita Boleh Melakukan Shalat Jama'?
Oleh Ustad Ahmad Sarwat, Lc
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dari
sekian banyak dalil yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah serta beragam metode
ijtihad, para ulama menyusun aturan dan ketentuan shalat jama'. Ketentuan ini disusun
untuk memudahkan umat dalam memahami bagaimana dan kapan shalat jama' itu boleh
dilakukan atau sebaliknya.
Hal-hal
Yang Membolehkan Jama'
1.
Sebab Safar
Menjama'
shalat dibolehkan bila seseorang berada dalam keadaan safar (perjalanan). Namun
para ulama menetapkan bahwa sebuah safar itu minimal harus menempuh jarak
tertentu dan ke luar kota. Di masa Rasulullah SAW, jarak itu adalah 2 marhalah.
Satu marhalah adalah jarak yang
umumnya ditempuh oleh orang berjalan kaki atau naik kuda selamasatu hari. Jadi
jarak 2 marhalah adalah jarak yang ditempuh dalam 2 hari perjalanan. Ukuran marhalah
ini sangat dikenaldi masa itu, sehingga dapat dijadikan ukuran jarak suatu
perjalanan. Orang arab biasa melakukan perjalanan siang hari, yaitu dari pagi
hingga tengah hari. Setelah itu mereka berhenti atau beristirahat.
Para
ulama kemudian mengkonversikan jarak ini sesuai dengan ukuran jarak yang
dikenal di zaman mereka masing-masing. Misalnya, di suatu zaman disebut dengan
ukuran burud, sehingga jarak itu
menjadi 4 burud. Di tempat lain disebut dengan ukuran farsakh, sehingga jarak itu menjadi 16 farsakh.
Di
zaman sekarang ini, ketika jarak itu dikonversikan, para ulama mendapatkan
hasil bahwa jarak 2 marhalah itu adalah 89 km atau tepatnya 88, 704 km. Maka
tidak semua perjalanan bisa membolehkan shalat jama', hanya yang jaraknya
minimal 88, 704 km saja yang membolehkan. Bila jaraknya kurang dari itu, belum
dibenarkan untuk menjama'.
Namun
dalam prakteknya, bukan berarti jarak itu adalah jarak minimal yang harus sudah
ditempuh, melainkan jarak minimal yang akan ditempuh. Berarti, siapa pun yang
berniat akan melakukan perjalanan yang jaraknya akan mencapai jarak itu, sudah
boleh melakukan shalat jama', asalkan sudah keluar dari kota tempat tinggalnya.
2.
Sebab Hujan
Kita
juga menemukan dalil-dalil yang terkait dengan hujan. Di mana turunnya hujan
ternyatamembolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak
untuk jama' antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil
“Sesungguhnya
merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama' antara shalat Maghrib dengan
Isya'” (HR
Atsram).
Dari
Ibnu Abbas RA. Bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan;
Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata, ”Barangkali pada malam turun
hujan?”. Jabir berkata, ”Mungkin”. (HR Bukhari 543 dan Muslim 705).
Dari
Nafi` maula Ibnu Umar berkata, ”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama`
antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad Shahih).
Hal
seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz,
Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para
masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam
Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain
itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab
dibolehkannya jama` qashar.
Dari
Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`
di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan. (HR Muslim 705).
3.
Sebab Sakit
Keadaan
sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama' shalat. Dalilnya
adalah hadits nabawi:
Bahwa
Rasulullah SAW menjama' shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
4.
Sebab Haji
Para
jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar
ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah.Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari
Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` Maghrib dan Isya` di
Muzdalifah pada haji wada`. (HR Bukhari 1674).
5.
Sebab Keperluan Mendesak
Bila
seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain
selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh
dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas. Dalil yang digunakan adalah dalil
umum seperti yang sudah disebutkan di atas. Allah SWT berfirman:
“Allah
tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj: 78)
Dari
Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.(HR Muslim 705).
Dari
Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`
di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
Menjama'
Shalat Karena Macet
Kita
yang hidup di tengah belantara metropolitan ini seringkali disulitkan dengan
urusan macet, khususnya masalah waktu shalat maghrib. Sedangkan shalat Dzhur,
Ashar, Isya dan Shubuh relatif tidak terlalu berpengaruh karena waktunya
leluasa. Yang paling mengkhawatirkan adalah shalat Maghrib yang waktunya sangat
singkat. Padahal jam-jam seperti itu adalah jam macet di mana-mana. Sehingga
banyak orang yang berpikiran bahwa macet itu 'boleh' dijadikan alasan untuk
menjama' shalat.
Tetapi
apa dalilnya? Bisakah dalil darurat dijadikan alasan? Dan seberapakah nilai darurat
sebuah kemacetan itu sehingga boleh menggeser waktu shalat? Adakah dalil yang
shahih dan sharih dari Rasulllah SAW yang membolehkan jama lantaran macet?
Jawabannya
tentu tidak ada. Tidak ada hadits yang bunyinya bila kalian kena macet, maka
silahkan menjama' shalat.
Lalu
apakah kondisi macet sesuai dengan salah satu penyebab di atas? Misalnya dengan
urusan safar, hujan, sakit, haji atau keperluan mendesak?
Kalau
dikaitkan dengan safar, maka macet yang sering kita alami tidak memenuhi
syarat, karena dari segi jarak tidak memenuhi standar minimal. Kalau dikaitkan
dengan keperluan mendesak, di sana ada syarat bahwa hal itu tidak boleh terjadi
tiap hari. Dan yang namanya darurat itu tidak boleh terjadi sepanjang waktu.
Bukankah
kita masih bisa turun dari bus atau mobil untuk shalat di mana pun? Bukankah
shalat itu tidak harus di dalam sebuah masjid atau musholla? Bukankah kalau
tidak ada air kita masih diperbolehkan bertayamum? Bukankah air tersedia di
mana-mana, bahkan para penjual air minum kemasan pun berkeliaran saat macet?
Maka
kaidah fiqhiyah yang anda sampaikan itu masih ada pasangannya, yaitu:
الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Sesuatu
yang dharurat itu diukur berdasarkan kadarnya
Terakhir,
kami bukan alumni Al-Azhar namun alumni Jami'ah Al-Imam Muhammad ibnu Su'ud
Al-Islamiyah, yang bermarkas di ibukota Riyadh Al-Mamlakah Al-Arabiyah
As-Su'udiyah. Universitas itu punya cabang di berbagai belahan dunia, salah
satunya di Jakarta. Di sini lembaga itu bernama LIPIA dan anda bisa menengok
kampus kami di www.lipia.org
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad
Sarwat, Lc
http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1178464547
Komentar
Posting Komentar