Pekerjaan Rumah Besar Ummat Islam



Oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. MA.
Menjadi umat Islam di Indonesia, kita punya seabreg pe-er besar yang harus diselesaikan. Di antaranya adalah :

1.       KURANGNYA ILMU AGAMA
Kurangnya ilmu adalah dasar dari semua probelmatika umat Islam, bukan cuma di Indonesia saja, tetapi hampir merasa di seluruh dunia. Munculnya begitu banyak aliran pemikiran yang aneh-aneh sebenarnya berangkat dari kurangnya kadar ilmu yang dimiliki umat Islam. Meski jumlah menara masjid tiap hari selalu bertambah, tetapi isi masjid-masjid kita hanya sekedar orang shalat dan dzikir saja. Ada pun halaqah keilmuwan sebagaimana yang terjadi di masa lalu, nyaris sudah tidak lagi kita temukan.
Umat Islam boleh dibilang lebih mengutamakan ibadah ritual dari pada menjunjung tinggi keilmuan. Akibatnya banyak orang beribadah dan beramal tapi tidak didukung dengan ilmu yang mencukupi.
Kalau baru sampai disitu, mungkin resikonya belum terlalu parah. Tetapi kalau mereka yang kurang ilmu itu merasa paling pintar dan kemudian merasa dirinya paling benar sendiri, lantas semua orang divonisnya sebagai orang bodoh, maka kiamatlah yang terjadi. Orang bodoh dengan orang bodoh, saling membodoh-bodohi, sehingga semakin nampak jelas kebodohan merajalela.
2.       KURANGNYA IKATAN UKHUWAH
Sebenarnya jumlah umat Islam cukup besar, sampai 1,6 milyar di dunia. Dan khususnya di Indonesia, tidak kurang terdapat 230-an juta muslim. Maka kita bangga bahwa negeri kita ini adalah negeri muslim terbesar di dunia. Sayangnya jumlah yang besar dalam statistik itu tidak sejalan dengan realita. Dalam alam realita, kebanyakan umat Islam justru jarang-jarang kompak, kurang akur, dan cenderung cari musuh dari sesama umat Islam sendiri.
Cuma karena urusan beda dalam memilih pejabat dan partai, sudah cukup untuk jadi bahan bakar saling mencaci, menghujat, bahkan saling menikam dari belakang. Padahal yang dijadikan sasaran adalah umat Islam juga, sama-sama sujud 17 kali dalam sehari. Entah benar entah tidak, tetapi yang kita rasakan ada semacam budaya bahwa umat Islam ini lebih hobi cari-cari perbedaan dari pada cari titik-titik persamaan dengan sesama hamba Allah. Dan kalau sudah berbeda, biasanya lebih suka bikin kelompok sendiri-sendiri.
Muncul kemudian beribu-ribu ormas, jamaah, tandzhim, dst dst, yang satu sama lain memang jarang-jarang akur. Kalau munculnya kelompok-kelompok itu sekedar konsentrasi pada pembidangan dan pembagian tugas, mungkin masih bisa kita pahami. Tetapi yang terjadi adalah tumpang tindih, saling saingan, bentrok, bahkan saling menghabisi dengan sesama. Repotnya lagi, sikap saling bermusuhan dengan sesama muslim ini diwariskan kepada generasi yang lebih muda. Sehingga ada 'permusuhan abadi' yang selalu diwariskan turun temurun.
3.       KURANGNYA KUALITAS SDM UMAT
Kekuatan sumber daya manusia (SDM) adalah potensi yang selama ini kurang digarap, kecuali hanya dari sisi jumlah. Sedangkan dari sisi kemampuan di berbagai bidang, kita masih melihat lubang besar yang menganga. Maka jangankan untuk bisa bermanfaat buat umat, sekedar untuk bisa bertahan hidup saja pun sudah jadi masalah besar. Jumlah umat Islam yang sangat besar tetapi tidak berkualitas itu akhirnya malah hanya jadi beban di semua bidang.
Misalnya beban ekonomi. Karena SDM tidak berkualitas, maka kebanyakan umat Islam in kalah bersaing di bidang lahan pekerjaan. Kalau pun dibutuhkan, yang dipakai hanya tenaganya saja, itu pun sebatas jadi buruh kontrak, yang berada pada hirarki paling bawah, paling sial, paling melarat dan paling lemah juga. Kalau pun mau bertani, masalahnya juga tambah besar. Selain lahan sawahnya juga tidak ada, ternyata dari hulu ke hilir isinya cuma masalah dan masalah. Bibit tidak tersedia, pupuk sangat mahal, obat anti hama dan sejenisnya juga selangit harganya. Kalau pun panen, harganya dimainkan tengkulak. Dan kran impor hasil pertanian dari luar negeri langsung menghabisi hasil petani kita. Mau dagang wirausaha, juga bukan tanpa masalah. Selain izin usaha yang berbelit, lahan tempat usaha pun tidak disediakan. Akhirnya, muncul menjadi kaki lima yang mencaplok jatah pejalan kaki. Lalu muncul satpol PP menggusur, dan terjadilah anarki dan anarki berikutnya.
Sudah semua usaha halal mampet, terakhir ya jadi preman. Urusan halal dan haram, sudah kelabu tidak jelas. Tetapi yang pasti menjadi preman juga tidak gampang, sebab ada kewajiban 'setor' dan bayar upetikepada atasan, biar ada yang melindungi dan jadi backking. Bayangkan, sudah dapat uang dengan jalan haram, masih harus bayar pula. Semua bermula dari rendahnya daya saing kualitas umat Islam sendiri.
4.       RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN
Bicara pendidikan, jelek-jelek secara statistik negeri kita temasuk yang paling banyak melahirkan sarjana. Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan (The Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD) menyatakan Indonesia bakal menjadi negara dengan jumlah sarjana muda terbanyak kelima di masa depan. Situasi ini bakal terwujud paling lambat pada 2020 mendatang. Bahkan dua tahun lalu, Indonesia menyumbang empat persen sarjana berusia 25-34 dari 129 juta mahasiswa di seluruh negara anggota G-20. Dan pada 2020, OECD memperkirakan jumlah itu bakal bertambah menjadi 6 persen. Sehingga, Indonesia sekaligus mengalahkan Inggris, Jerman, dan Spanyol, sebagai negara penyumbang sarjana muda terbanyak. Bahkan pada masa-masa itu kemungkinan besar jumlah sarjana terdidik negara ini tiga kali lebih banyak dibanding Prancis.
Sayangnya entah kenapa, jumlah yang segitu banyak, malah mubazir besar. Kenapa?
Karena Kementerian UKM dan Koperasi merilis setidaknya ada 493.000 sarjana lulusan perguruan tinggi yang mengganggur. Itu sarjana lho, bagaimana yang bukan?
Ujung-ujungnya, julah sarjana yang menganggur karena tidak berkualitas itu jadi beban negara lagi. Berbagai kementerian diminta untuk menyerap para sarjana itu. Maka jumlah PNS yang sudah mencapai 4,7 juta itu nampaknya akan semakin menggelembung lagi.  Apa artinya semua itu? Rakyat akan semakin miskin, karena uang pajak mereka digunakan untuk memberi makan para sarjana pengangguran karena sudah jadi PNS.

(masih bersambung)

14 September 2012

Catatan Harry :
Tulisan ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman facebooknya di  http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya