Kalimat Sakti



"...bahwa untuk orang seperti kita hidup harus diterima apa adanya".
Beberapa teman bertanya kenapa status facebook saya seperti itu. Ada yang mengira saya sedang stres atau mengalami putus harapan. Saya suka mengulum senyum saja kalo lagi malas meluruskan sesuatu, kawan2 di lab sangat mengenal type senyum saya yang seperti ini. Di FB saya menjelaskan secara singkat kepada sahabat saya fredi, entah lah, tapi sepertinya kawan saya itu tidak mengerti. Jadi saya ingin menulis kisah ini..
Almarhumah Nenek Saya dan Sebutir Tomat
Adalah Almarhumah Nenek saya yang sepertinya memulai menggunakan kalimat sakti ini. Beliau adalah seorang wanita besar, kebesaran jiwa bisa kita rasakan kalo kita cukup dekat dengannya. Sebenarnya tidak jelas benar apakah benar beliau yang mengajari saya kalimat itu. Saya ingat kata-katanya tentang tangan yang harus selalu terkepal tiap kali kami melewati kebun orang lain.
Kami tinggal di sebuah wilayah pedesaan di Bogor. Pada masa lalu, wilayah antara Sungai Kalibaru di barat rel kereta Bogor - Jakarta samp Jl. KH. Soleh Iskandar di timur Lanud Atang Sanjaya adalah hamparan sawah dan kebun yang sungguh luas. Diselingi satu dua perkampungan yang dihuni anak2 dari keluarga seperti saya. Kami adalah generasi indonesia yang penuh paradoks. Kalo musim hujan kami menanam padi di sawah yang basah. Di bawah batang padi itu ada binatang-binatang aneh hidup, dari ikan lele sampai serangga yang berbau seperti terasi. Saat musim panas yang di Bogor tetap berhujan tiba kami mendapat hadiah dari perut bumi. Singkong, bangkuang, ubi hingga talas begitu melimpah hingga anak-anak yang berasal dari keluarga tidak punya tanah seperti saya masih kebagian sisa yang ditinggalkan pemanen. Kami biasanya menunggu sampai pemilik lahan selesai lalu "menyerbu" sisanya (kegiatan ini disebut "nge-kes"). Paradoksnya adalah di belakang rumah kami ada Lab biologi yang sangat luas dan hanya saya yang tertarik bahkan pernah bercita2 untuk jadi doktor biokimia. Kawan-kawan yang lain bahkan ada yang tidak lulus SMA. Bagi sebagian besar kami, Ubi dan singkong hanyalah alat penunda lapar.
Selama saya mengikuti nasihat nenek tentang tangan terkepal itu saya sangat bahagia. Saya merasa cukup dengan ubi sisa panen orang lain atau kesenangan berburu burung puyuh di kebun singkong. Tidak ada keinginan memiliki atau merasa cukup mungkin bukanlah ciri kekayaan, tapi pasti syarat kebahagiaan. Lalu ada masa saya harus menunaikan kewajiban tiap sore. Dua ekor kelinci australi kesayangan selalu lapar daun-daun segar dan artinya saya jadi semakin sering ke pesawahan. Di sanalah saya melihat buah tomat yang baru memerah. Ternyata tomat itu sedikit berduri dan pohonnya memiliki rambut halus sebangsa pohon terong. Saya tidak bisa menahan diri untuk mencoba bagaimana rasanya tomat segar dari pohon itu, lalu saya pun mencurinya.
Bagi sebagian kawan saya, mencuri sebutir tomat bukanlah dosa. Mereka beranggapan tomat hanya ditanam untuk mengisi lahan kosong di sela pagar kebun dan tidak ada harganya dibanding isi kebunnya. Mereka boleh berfatwa dengan aneka kilah, tapi hati saya kadung merana, ada rasa takut di hati kecil saya. Sejujurnya saat mulai mengamati tomat itu hati saya sudah demikian bergolaknya. Saat memutuskan memetiknya, saya berjalan mengendap, padahal tidak ada yang lihat. Saat berhasil memetiknya, saya sembunyikan di sela-sela dedaunan milik kelinci saya, takut ketahuan. Bahkan setelah sampai di rumah, saya menyimpannya di kandang kelinci, bukan di dapur, takut ada yang tanya asal usulnya. Proses itu semakin dilakukan semakin menyita ketenangan batin saja. Akhirnya tomat itu entah ke mana, tapi jauh  di hati dia menggoreskan luka.
Almarhum kakek saya adalah anggota pasukan khusus kepolisian. Sebagai seorang bintara biasa, konon beliau sering ditugaskan ke berbagai daerah di indonesia. Bekerja puluhan tahun membuat keluarga kami mampu membeli beberapa bidang tanah berupa kebun dan kolam ikan (empang). Saat itu saya juga sempat merasakan melimpahnya buah-buahan segar dan ikan-ikan besar.
Namun lewat jalan lain, kakek saya menderita penyakit keras di akhir karirnya. Sebagian harta hasil kerja kerasnya dijual untuk biaya pengobatan yang panjang dan melelahkan. Beliaupun akhirnya meninggal dunia di usia yang masih cukup muda. Yang saya sangat ingat darinya adalah kegagahannya di balik jaket hijau pasukan saat penyakit itu diam-diam menggerogoti badannya. Dia tetap gagah, tidak mengeluh dan menikmati hidup apa adanya. Nenek saya, begitu pula kami sekeluarga, melihat kebun kami kini digarap orang, empang kami dipancingi orang dan tetap kehilangan lelaki yang kami sayangi. Tapi beliau tidak mengeluh, tetap rajin mengaji dan menjalani hari seperti biasa.
Pasrah bukan berarti Menyerah
Paman saya (kami memanggilnya "Mamang") mungkin adalah yang paling menderita atas takdir-Nya itu. Saat itu Mamang adalah siswa SMU yang sangat prestatif, entah apa istilahnya untuk anak yang diterima di dua PTN. Lewat istikharahnya Mamang akhirnya memilih IAIN Syarif hidayatullah Ciputat dari pada IPB. Kalo hanya uang semesteran mungkin uang pensiun masih bisa dipakai dengan hidup sederhana tapi kita tahu kuliah bukan hanya semesteran. Dlm kondisi seterbatas itu tak pernah saya dengar mamang menyerah, kekurangannya ditutupi secara kreatif dengan membuka bimbel privat. Mengarungi banyak kesulitan, menikmati ketidak berfihakan dunia pada cita-citanya, Mamang tidak mengeluh, tetap menjalani hidup apa adanya dengan segala perjuangannya.
Ayah saya (kami memanggilnya Papa) adalah seorang PNS, pada jam normal papa bekerja di sebuah klinik pemerintah. Pada jam lain, papa bekerja di tempat lain. Yang saya tahu papa bisa menjahit, suka mereparasi sepeda motor sendiri dan bertani. Yang saya tahu lagi Papa sering pulang menjelang tengah malam tak peduli seperti apa cuaca malam itu. Papa selalu libur di malam jumat untuk memimpin kami yasinan berjamaah sekeluarga tak peduli seperti apa cuacanya. Tak ada keluhan tentang dagangan yang mungkin tidak laku karena tanggal tua atau badan yang kurang fit akibat didera hujan berhari-hari. Papa tetap suka bercerita untuk menghibur kami, mungkin dari darahnya itusaya jadi suka bercerita juga.
Mama yang mendampingi Papa lebih hebat lagi. Sebagai anak seorang polisi yang biasa hidup sederhana namun berkecukupan, tinggal bersama kami di rumah yang sangat sederhana tidak menjadi beban mental. Saya sering mendengar istri yang memaki suami di hadapan anak-anaknya tentang penghasilan ayah mereka yang kurang mencukupi, istri yang tidak patuh pada suami atau istri yang menggibah penghasilan suaminya sendiri di hadapan keluarganya. Tapi mama menikmati penghasilan dan penghidupannya dengan biasa-biasa saja. Sewaktu kecil, tiap bulan saya lihat mama menghitung-hitung uang gaji dari sebuah amplop coklat, dan biasanya wajahnya menjadi murung setelah itu. Tapi hanya sampai di situ saja, tidak ada satu katapun keluhan keluar dari mulutnya. Mungkin yang terbaik menurut mama, bagi orang-orang seperti kita, hidup harus diterima apa adanya. Mungkin mama tidak tega menyakiti papa yang telah bekerja begitu keras. Atau mama mungkin sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Menghitung atas hamba-hamba-Nya.
Keluarga kami terus bekerja keras dan berhemat selama bertahun-tahun. Tidak menyerah pada keadaan yang sulit, pada pendidikan yang rendah, pada kesempatan yang tidak merata. Papa tetap bekerja sampai larut malam bertahun-tahun lamanya, Mama tetap tabah hingga hari tulisan ini dibaca, Mamang tetap kuliah dan bekerja keras mengejar mimpinya dan Nenek tetap mengaji dan sangat bijaksana hingga akhir hayatnya. Dan saya...mengenang tomat itu bukan sebagai kejahatan terakhir saya. Mudah-mudahan Allah bukan hanya mengampuni pencuri-pencuri tomat seperti saya ini tapi juga memberi mereka Nenek-nenek yang bijaksana.
Mamang, Papa dan Mama masing-masing pernah mengajari saya kalimat saktinya masing-masing. Mereka memang tidak sempurna, ada kisah-kisah tidak enak yang menggelayuti kehidupan kami. Tentulah hanya Nabi dan para Rasul yang dibimbing Allah lewat wahyu yang bisa menajdi sosok sempurna. Tapi kamu boleh percaya atau tidak kalimat-kalimat mereka kadang seperti menuntun saya melewati banyak tahapan hidup. Mungkin kapan-kapan saya akan bercerita tentang kalimat-kalimat sakti yang lain.
Mungkin kamu yang memiliki jalan hidup berbeda tidak akan percaya. Mungkin kamu yang terbiasa mendapat apapun yang kamu suka hanya akan tersenyum saja. Andai kamu mengalami apa yang kami alami insyaallah kamu akan yakin :
"...bahwa untuk orang seperti kita hidup harus diterima apa adanya".

Wallaahua'lam.

Catatn Harry : Sumber gambar adalah http://tubuhsehat.blogdetik.com/2008/10/02/tomat-dan-khasiatnya/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya