Bolehkah Panitia Zakat Jual Beras?


Oleh : Ustad Ahmad Sarwat, Lc.
Walau pun ada pendapat yang membolehkan bayar zakat al-fithr dengan uang, namun fenomena yang muncul menunjukkan cukup banyak orang yang mulai mengerti bahwa afdhalnya zakat fitrah itu dibayarkan dalam bentuk beras. Tetapi karena membawa beras dari rumah ke panitia zakat (biasanya di kantor atau di masjid) dianggap kurang praktis, maka muncul insifatif dari panitia zakat untuk menyediakan beras. Maksudnya, biar masyarakat yang ingin membayar zakat dengan beras bisa menjalankan kewajiban zakat dengan praktis, cukup membawa uang, tetapi tetap membayar dengan beras.

Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, lantas apa status beras yang disediakan oleh panitia zakat? Apakah beras itu dijual kepada muzakki (orang yang membayar zakat), lalu panitia menerima beras itu untuk disalurkan? Atau kah beras itu hanya menjadi sample atau contoh saja, lantas nanti panitia akan membelikan beras dari uang yang dibayarkan? Dan haruskah panitia menyediakan beras dalam bentuk fisik? Bolehkah beras yang sudah dijual kepada muzakki lalu dijual lagi kepada muzakki yang lain?
Untuk menjawab masalah ini, mari kita bahas satu per satu.
1.       Bayar Zakat Dengan Beras Lebih Utama
Jumhur ulama sepakat bahwa zakat al-fithr memang lebih utama dengan beras atau makanan pokok. Dasarnya karena yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah membayar dengan gandum, kurma dan makanan pokok lainnya. Biar pun di masa Nabi SAW sudah ada uang, namun kita tidak menemukan contoh dari sirah nabawiyah, para shahabat atau salafus-shalih yang membayar zakat al-fithr dengan uang.

Kalau pun ada yang membolehkan, maka itu cuma pendapat segelintir ulama, khususnya mazhab Al-Hanafiyah. Selebihnya, jumhur fuqaha sepakat lebih utama dengan makanan pokok. Namun perlu diingat bahwa kita tidak dalam posisi mengatakan bahwa bayar zakat dengan uang itu tidak sah.

2.       Panitia Menyediakan Beras
Namun lepas dari keutamaan bayar zakat dengan beras, pada kenyataannya bila ada muzakki yang ingin bayar zakat dengan beras, biasanya dia membeli beras dulu ke pasar, terus dibawa pulang, lalu ditakar, kemudian dibawa pergi entah ke masjid atau ke kantor panitia zakat, untuk diserahkan.
Semua rangkaian itu menurut sebagian kalangan dianggap sangat tidak praktis. Masak kita ke kantor bawa-bawa beras? Kalau anggota keluarganya cuma 2 atau 3 orang sih enak, bagaimana kalau total anggota keluarganya 12 orang? 12 x 2,5 Kg = 25 kg. Masak ke kantor bawa karung beras?
Oleh karena itu muncul inisiatif dari pihak panitia zakat untuk menyediakan beras di konter zakat. Tapi yang jadi masalah, status beras itu apa?

3.       Panitia Jualan Beras
Alternatif pertama adalah bahwa panitia berjualan beras, bukan membantu membelikan. Jadi statusnya beras itu 100% adalah barang dagangan. Dengan status seperti itu, maka ada beberapa ketentuan yang wajib diperhatikan :
a.       Tidak Boleh Berjual Beli di dalam Masjid
Transaksi jual beli beras boleh dilakukan, tetapi tempatnya tidak boleh di dalam masjid. Sebab larangan berjual-beli di masjid bukan hal yang ringan dan boleh dilanggar. Oleh karena itu sebaiknya posisi kantor atau konter zakat berada di luar wilayah suci masjid. Sebagaimana ruang wudhu dan wc yang masih merupakan aset masjid, tetapi dikhususkan posisinya di luar wilayah suci.
b.      Beras Yang Sudah Terjual Tidak Boleh Dijual Lagi
Apabila ada orang yang mau bayar zakat, mereka diminta membeli beras dulu dengan membayar harganya. Setelah itu beras diserahkan kepada panitia. Maka beras itu sudah jadi amanat, tidak boleh diperjual-belikan lagi.
c.       Beras Tidak Harus Tersedia Secara Fisik
Banyak panitia zakat yang merasa berkewajiban untuk menyediakan beras secara fisik, untuk dijual kepada muzakki. Tapi karena tidak ada modal, mereka terpaksa berhutang dulu ke warung, atau ada pihak yang menalangi dulu.
Sebenarnya untuk berjualan beras, tidak ada ketentuan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus hadir secara fisik. Sebab jual-beli itu tetap halal meski dengan cara tidak tunai, alias hutang. Jadi sah-sah saja apabila panitia hanya menerima uang tanpa menyediakan beras secara fisik. Akadnya tetap akan jual-beli, tapi berasnya tidak ada. Nanti begitu hampir lebaran, barulah panitia membeli beras dari uang-uang yang terkumpul.
Dalam syariah Islam, ada dua jenis jual-beli tidak tunai atau hutang :
Pertama, barangnya tunai tapi uangnya belakangan (dihutang). Contohnya jual-beli kredit yang banyak kita jumpai sehari-hari. Ketika beli motor dengan kredit, berarti kita sudah menikmati barangnya tapi uangnya belum lunas alias masih hutang.
Kedua, uangnya tunai tapi barangnya boleh belakangan. Contohnya adalah ketika kita beli pulsa pra bayar untuk Handphone. Kita sudah keluar uang Rp. 100.000, tapi barang atau jasanya belum kita nikmati. Contoh lagi adalah ketika kita beli tiket kereta api, bus atau pesawat. Kita sudah bayar dan keluarkan uang, tetapi jasanya belum kita nikmati. Cara kedua ini sering disebut akad salaf atau salam, dan sudah dijalankan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat di masa lalu.
d.      Kalau pun beras dihadirkan secara fisik, sebenarnya bukan untuk dijual, melainkan hanya untuk sample saja.
e.      Karena statusnya jual beli, maka dalam hal ini panitia boleh mengambil untung.
Misalnya panitia menjual beras per kilo 7 ribu rupiah, namun ketika membeli beras harganya cuma 6 ribu rupiah. Ambil untuk seribu per kilo.

4.       Panitia Membantu Membelikan Beras
Alternatif kedua adalah panitia tidak menjual beras kepada muzakki, melainkan membantu muzakki untuk membelikan beras. Akadnya adalah akad wakalah, yaitu panitia zakat mewakili muzakki untuk membeli beras. Maka ada beberapa catatan dalam hal ini :
a.       Tidak Boleh Ambil Untung
Karena hanya mewakili pihak muzakki, maka panitia harus jujur dan tidak boleh mengutip untung. Muzakki menyerahkan uang untuk beli beras seharga 7 ribu per kilo, maka panitia wajib membeli beras yang harganya juga 7 ribu per kilo.
b.      Beras Tidak Perlu Dihadirkan Secara Fisik
Panitia sama sekali tidak perlu menyediakan beras secara fisik, karena akadnya adalah taukil. Namanya mewakili, maka panitia tidak perlu menyediakan beras. Justru panitia yang akan ke pasar untuk memberikan beras kepada muzakki, kalau muzakki sudah bayar uangnya.
c.       Kalau pun beras dihadirkan secara fisik, sebenarnya bukan untuk dijual, melainkan hanya untuk sample saja.

(insyaallah bersambung)
Jakarta, 18 Agustus 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya