Fiqih Jinayat (2)


Oleh : Ust. Ahmad Sarwat, Lc.

Sebenarnya tidak ada alasan yang masuk akal untuk menuduh bahwa agama Islam itu kejam, hanya lantaran Islam masih menjalankan syariat yang ada ancaman hukuman rajam, qishash, potong tangan atau cambuk. Karena pada kenyataannya, hingga dewasa ini hukuman-hukuman seperti itu masih masih dijalankan di berbagai negara, termasuk negara-negara yang sekuler dan tidak berdasarkan agama, seperi RRC dan Amerika Serikat. Menurut statistik, setidaknya masih ada 68 negara di dunia ini yang menerapkan hukuman mati secara legal sebagai bagian dari kebijakan hukum di masing-masing negara.
Dari 68 negara itu, ternyata negara-negara yang dianggap sudah maju yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), seperti Singapura, Amerika, Inggris, Jepang dan China ternyata masih menjalankannya.


1.       Singapura
Singapura sebagai negeri yang sangat pro kepada kebijakan Israel ternayta bersikukuh untuk tetap menerapkan hukuman mati dan juga hukum cambuk. Pemerintah Singapura tidak main-main dengan hukuman mati ini. Bahkan sampai orang yang menghina hukuman mati di Singapura, Alan Shadrake, ditangkap dan dipidanakan, serta didenda sampai 20.000 USD.
Pengarang buku asal Inggris juga dipenjara selama enam pekan karena dianggap menghina pengadilan melalui bukunya yang membahas hukuman mati di Singapura. Dalam buku yang bertajuk Once a Jolly Hangman – Singapore Justice in The Dock, Shadrake mengkritik ketidakadilan dalam praktek hukuman mati di Singapura. Shadrake yang tinggal di Malaysia ditahan pemerintah Singapura pada Juli 2010 saat dia datang ke Singapura dari Malaysia untuk peluncuran bukunya.

Di Singapura, hukuman mati mulai diberlakukan sejak Singapura masih berada di bawah kekuasaan Inggris dan tetap diberlakukan dalam sistem hukum Singapura ketika Singapura merdeka pada tahun 1965. Hukuman mati diancamkan terhadap tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkotika. Dalam hukum Singapura terdapat ketentuan yang mengancamkan hukuman mati terhadap seseorang di atas 18 tahun yang dinyatakan bersalah atas keterlibatannya dalam perdagangan heroin di atas 15 gram, morfin di atas 30 gram, kokain di atas 30 gram atau ganja di atas 500 gram.

Kejahatan yang juga diancam hukuman mati di Singapura, yaitu pengkhianatan terhadap negara, kejahatan terhadap Presiden, kepemilikan senjata illegal, penculikan dan menyebabkan seseorang yang tidak bersalah menjadi dihukum karena kesaksian palsu.
Tetapi dalam hukum Singapura itu sendiri terdapat pembatasan untuk dilakukannya hukuman mati, yaitu hukuman mati tidak dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang sedang hamil dan seorang anak yang berusia di bawah 18 tahun.
Pada tahun 1995, tercatat 34 putusan hukuman mati dijatuhkan dan lebih dari 50 terpidana mati di eksekusi. Pada tahun berikutnya, 1996, tercatat 19 putusan hukuman mati dijatuhkan dan 38 terpidana mati di eksekusi. Sejak tahun 1991, lebih dari 420 terpidana mati di eksekusi di Singapura. Mayoritas dari terpidana mati tersebut adalah terpidana dengan tuduhan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang.
Singapura merupakan salah satu negara yang bersikukuh mempertahankan hukuman mati dalam beberapa diskusi di lembaga-lembaga internasional. Dalam Konferensi Diplomatik 1998 yang membahas mengenai Statuta Roma, Singapura memprotes penghapusan hukuman mati. Dalam argumennya Singapura menyatakan: “Bentuk hukuman pasti akan berhubungan dengan tingkat kejahatan. Kita tidak boleh mempermainkan hak hidup dari seorang terpidana, sebaliknya, hak untuk melindungi korban juga tidak dapat dikesampingkan”.
Yang bicara seperti itu bukan negara Islam, tetapi pemerintah Singapura yang nota bene tidak kenal agama, lebih mengandalkan kepada logika dan nalar saja. Anehnya, kalau yang berbicara seperti itu pemerintah Singapura, tidak ada yang mengkritik dan menuduhnya kejam, sadis atau tidak berperikemanusiaan. Bahkan kalau ada pihak-pihak yang menghina hukum seperti itu di Singapura, pasti akan dihukum juga, seperti nasib si Alan Shadrake. Tapi kalau yang bicara seperti itu umat Islam, maka akan habis dimaki-maki dan dituduh sebagai barbar yang haus darah dan diangap melanggar HAM dan tetek bengeknya.
2.       Amerika Serikat
Selama ini kita membayangkan Amerika adalah polisi dunia yang mengagungkan hak asasi manusia. Tapi tahukah kita bahwa sampai hari ini pun Amerika masih menerapkan hukuman mati kepada para pelanggar hukum yang berat. Berdasarkan hukum negara federal, ancaman hukuman mati diancamkan terhadap 60 bentuk kejahatan, di antaranya pembunuhan terhadap pegawai pemerintahan federal, pengkhianatan negara, spionase dan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang.
Di samping itu, Amerika Serikat merupakan salah satu negara di dunia yang dalam sistem hukumnya memungkinkan dilaksanakannya eksekusi mati terhadap pelaku kejahatan yang belum berusia 18 tahun. Setidaknya 160 anak dijatuhi putusan hukuman mati sejak tahun 1973.
Dari 37 negara bagian yang masih mempertahankan hukuman mati, 15 di antaranya menetapkan batas usia minimal untuk dijatuhi hukuman mati adalah 18 tahun, 5 negara bagian menetapkan batas usia 17 tahun dan 17 negara bagian lainnya membatasi penerapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan di bawah usia 16 tahun. Sedangkan pemerintahan federal menetapkan bahwa batas usia untuk dijatuhi hukuman mati adalah 18 tahun.
Apalagi pasca terjadinya serangan 11 September 2001, beberapa penyusun undang-undang di Alabama, Illinois, New Jersey, Nevada, Ohio dan North Carolina, membuat proposal anti-terrorist dengan maksud memperluas pemberlakuan hukuman mati terhadap para teroris.

Dan seminggu setelah serangan 11 September, penyusun undang-undang di New York juga membuat anti-terrorism dengan maksud yang sama seperti proposal anti-terrorist, yaitu memperluas pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku terorisme. Pada 13 November 2001, Presiden George W. Bush menandatangani Military Order on the Detention, Treatment and Trial Non-Citizens in The War Against Terrorism. Order tersebut ditujukan pada pemeriksaan pengadilan militer kepada seseorang yang menurut Presiden dapat dianggap sebagai tersangka dalam keterlibatannya dengan terorisme internasional.  Pengadilan militer tersebut memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati.
Kalau Amerika yang menerapkan hukum seperti di atas, tidak ada yang berani mengkritik. Tapi kalau kita ngaji menggelar bab fiqih jinayat, belum apa-apa sudah dicurigai mau mendirikan negara Islam. Setidaknya pengurus langsung kasih note : Ustadz, mohon materinya yang biasa-biasa saja, soalnya banyak yang muallaf.
3.       Inggris
Di Inggris hukuman mati memang telah dihapus untuk tindak pidana pembunuhan pada 18 Desember 1969. Tetapi berdasarkan Treason Act 1914, hukuman mati masih dapat diberlakukan untuk tindakan pengkhianatan terhadap negara baik yang dilakukan pada saat perang maupun pada masa damai. Di samping itu, beberapa peraturan perundang-undangan lainnya juga masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya, di antaranya Piracy Act 1837 yang mencantumkan ancaman hukuman mati terhadap pelaku pembajakan yang disertai dengan kekerasan. Berdasarkan Army Act 1955, Air Force Act 1955 dan Naval Discipline Act 1957, hukuman mati diancamankan terhadap tentara yang melakukan pengkhianatan dan spionase di saat perang. Military Penal Code yang mulai berlaku sejak Juni 1986 pun masih memungkinkan penerapan hukuman mati atas tindak pidana yang dilakukan pada saat perang.

Dan lucunya, kalau hukuman mati masih berlaku di Inggris, tidak ada pihak-pihak yang mencemooh atau mendiskriditkan. Semua orang duduk manis dan anteng. Tapi giliran umat Islam bicara hukum qishash, hudud serta fiqih jinayat, semua pihak langsung berposisi kuda-kuda. Semua memandang curiga dan menatap tajam seakan ingin mengancam. Biasanya mereka akan bilang, "Pokoknya NKRI dan Pancasila sudah FINAL. Kita Indonesia dan bukan Arab. Kita makan tempe dan bukan makan onta. Negara kita bukan negara Islam. Jangan bawa-bawa hukum padang pasir ke negeri yang hijau gemah riph loh jinawi ini. Dan masih banyak lagi sumpah serapah yang terlontar, cuma karena mereka alergi dengan istilah hukum Islam.
4.       Jepang
Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dan punya kekuatan ekonomi yang tangguh, serta termasuk negeri dengan tingkat kejahatan yang rendah. Dan Jepang adalah salah satu negara maju di dunia yang masih mempertahankan hukuman mati sampai hari ini. Bahkan Menteri Kehakiman Keiko Chiba memamerkan ruang eksekusi mati kepada media. Di ruangan tersebut media Jepang dapat melihat langsung ruang eksekusi yang berdinding kaca di Tokyo.
Di tempat itu, biasanya para tahanan mati menjalani hukuman dengan cara digantung.
Ruangan berwarna merah dan dilengkapi salib pada lantainya yang berwarna putih, menandai tepat berdirinya tahanan sebelum akhirnya eksekusi dimulai. Ruangan tersebut juga dilengkapi dengan patung Budha berwarna emas yang digunakan para tahanan sebelum menjalani hukuman mati.
Kalau Jepang yang membuat hukum, walau pun hukuman mati, tidak ada yang meributkan. Tapi kalau kita buka tafsir terkait ayat-ayat hukum qishash, potong tangan, cambuk dan sejenisnya, maka orang sudah menduga kita ingin melakukan kudeta berdarah. Atau setidaknya dituduh sebagai teman-temannya Abu Bakar Ba'asyir, Imam Samudera dan Amrozi cs.
5.       China
China menduduki peringkat tertinggi sebagai negara yang paling rajin menghukum mati warganya. Amnesty International memperkirakan setiap tahunnya ribuan nyawa melayang karena eksekusi mati. China yang giat membangun dan berambisi menjadi pemimpin dunia yang tidak berbelas kasihan pada kasus-kasus penyuapan, korupsi dan penggelapan pajak, apalagi pembunuhan.
Dalam waktu singkat, seorang pidana dapat diringkus, diadili, divonis hukuman mati, diberikan kesempatan banding dan dieksekusi, semua berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Sebagian besar terpidana hukuman mati dieksekusi dengan cara ditembak dibagian belakang kepala dengan satu peluru dari jarak dekat. Uniknya, sebelum dikremasi tanpa dihadiri pihak keluarga, organ tubuh terpidana diangkat dan didonorkan pada orang-orang kaya dan orang-orang asing yang melakukan transplantasi organ di China.
Ditahun 80-an anggota keluarga terpidana mati diharuskan membayar peluruh yang digunakan. Hebatnya, menurut data ternyata 90% penduduk China mendukung hukuman mati di negerinya.
Pemerintahan China tidak bergeming terhadap kecaman negara-negara lain akan moralitas dari hukuman mati yang dilakukan terhadap para terpidana. Bagi pemerintahan pusat bukan masalah apakah mereka harus mengampuni para terpidana tetapi bagaimana melakukan eksekusi dengan efisien dan mendapatkan keuntungan darinya.
Kini pemerintah China mengembangkan suatu kendaraan yang mereka sebut Bus Eksekusi untuk eksekusi hukuman mati yang lebih manusiawi dan effisien. Bus Eksekusi yang telah dirancang canggih agar hukuman mati berlangsung dengan proses murah dan efisien. Dikembangkan oleh satu perusahaan bernama Jinguan Auto, bus pencabut nyawa ini berharga hampir satu milyar rupiah dan dapat dikemudikan hingga kecepatan 120 Km/jam. Dari luar bus ini nampak seperti kendaraan yang biasa digunakan untuk mengangkut turis, tetapi di dalamnya mirip dengan sebuah kamar operasi yang dilengkapi peralatan canggih. Proses eksekusi direkam kamera dan dapat disaksikan langsung oleh pejabat setempat dan masyarakat melalui layar monitor diluar bus.
Ide untuk mengembangkan bus penjemput ajal ini timbul dari kamar gas berjalan yang digunakan oleh Nazi pada tahun 1940-an agar proses pemindahan korban eksekusi berjalan cepat.
Saat itu ilmuan Hitler mengembangkan kendaraan maut ini dengan menutup rapat dan memenuhi kamar eksekusi dengan karbon monoksida yang disemburkan dari pipa knalpot.
Pada mulanya bus penjemput nyawa ini digunakan untuk pasien-pasien rumah sakit jiwa Polandia. Nazi kemudian mengembangkannya hingga dapat memuat 50 orang tawanan yang diperintahkan untuk menyerahkan barang-barang bawaan mereka, melucuti pakaian dan dikunci dalam ruangan tertutup. Selagi gas menyembur dalam ruangan, bus berjalan menuju kuburan massal yang digali oleh tawanan lainnya.
Kini pemerintah China meniru apa yang dilakukan Nazi. Bus penjemput ajal menghemat biaya pembangunan fasilitas eksekusi dalam penjara atau gedung pengadilan, selain itu juga para terpidana dapat menjalani eksekusi di kota tempat kejahatan dilakukan. “Demikian akan membuat masyarakat setempat berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan”, ujar seorang pejabat.
Seorang juru bicara Jinguan Auto yang berlokasi diselatan Chongqing berkata bahwa mereka telah memproduksi dan menjual 10 unit Bus Eksekusi. Jumlah pasti Bus Eksekusi yang dioperasikan oleh pemerintah China tidak dapat diungkapkan tetapi telah diketahui bahwa propinsi Yunnan telah memiliki 18 unit bus dan selusin lainnya tersebar di lima propinsi lainnya.
Ukuran bus ini sebesar kendaraan roda empat dengan kapasitas 17 tempat duduk. “Kami belum mengeksport bus ini”, lanjutnya. Seorang pejabat pemerintahan mengatakan bahwa bus penjemput ajal ini adalah satu pilihan yang lebih manusiawi daripada tembakan di belakang kepala (60% dari eksekusi dilakukan dengan cara tembak) dan juga guna memperbaiki citra China dalam pelanggaran HAM.
Lagi-lagi, siapa pun boleh menjalankan hukum apa saja sesuka hati, asalkan jangan umat Islam. Ini bukan ketentuan orang barat, tetapi justru ini pendirian umat Islam sendiri. Sebab dalam pandangan mereka, hukum Islam adalah sesuatu yang paling dibenci dan harus dihindarioleh umat Islam sendiri. Dan semua terjadi begitu saja, tidak ada yang protes. Hukum jinayat sudah 'dibunuh' dan dikubur dalam-dalam orang keluarganya sendiri.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
(bersambung)
Jakarta, 21 – 08 – 2012


Catatan Harry :
Tulisan ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman facebooknya di  http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Cerita Dadar Gulung

Sang Surya