Fiqih Jinayat (3) : Ketakutan Terpecahnya Integritas Bangsa


Oleh : Ust. Ahmad Sarwat, Lc.

Pada dasarnya latar belakang kenapa bangsa Indonesia rata-rata sangat antipati dan benci dengan hukum Islam semata-mata, karena mereka tidak terlalu kenal. Karena tidak kenal maka melahirkan sikap merasa asing dan hati-hati, ditambahkan lagi distorsi dari para orientalis yang memang sangat provokatif. Maka tidak terasa, begitu banyak sikap-sikap bangsa muslim tebesar di dunia ini merasa harus memusuhi, setidaknya menolak hukum Islam.
Kalau kita koleksi, cukup banyak alasan yang sering diajukan oleh para penentang berlakunya hukum Islam. Misalnya masalah integritas bangsa, juga pandangan minor bahwa hukum Islam itu tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Musuh-musuh Islam sangat mengerti cara untuk menolak diterapkannya hukum Islam di Indonesia, yaitu dengan cara menakut-nakuti dan menyebarkan rasa khawatir kalau hukum Islam sampai diterapkan, nanti akan melahirkan dis-integrasi bangsa. Ketakutan bahwa bangsa Indonesia ini akan terbelah, tercabik dan berpecah belah itu pernah dibuktikan dalam sejarah. Maksudnya, rasa takut itu terbukti efektif untuk digunakan para musuh Islam untuk menakut-nakuti para pendiri negara ini utuk membatalkan kehendak mereka menerapkan syariat Islam secara formal.

Kisahnya terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945. Terbetik kabar bahwa bangsa Indonesia yang baru merdeka sehari terancam perpecahan, karena wilayah bagian timur mengancam akan memisahkan diri kalau pada naskah Pancasila masih terdapat tujuh kalimat : "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya". Maka dengan serta merta, tujuh kata itu langsung dicoret begitu saja secara sepihak. Padahal sampai sekarang ketika diusut tidak jelas sumber berita itu datang dari mana. Tidak jelas siapa yang ingin memisahkan diri dan tidak jelas siapa tokohnya. Tetapi rasa takut itu berhasil dihembuskan dan sangat efektif.
Sekarang ini rasa takut yang tidak jelas dasarnya itu juga sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang anti syariat Islam. Setiap kali ada ajakan untuk menjalankan syariat, belum apa-apa sudah ramai ditentang dengan alasan takut nanti bangsa Indonesia akan terpecah-pecah. Padahal menjalankan syariat Islam itu tidak perlu dengan cara memecahkan diri dari persatuan dan kesatuan nasional. Sama sekali tidak perlu harus dengan cara mendirikan negara Islam secara eksklusif.  Untuk menerapkan syariat, kita tidak harus menunggu berdirinya negara Islam, apalagi khilafah Islamiyah. Maka logikanya akan menjadi terbalik-balik tidak karuan kalau tujuan mendirikan negara Islam atau khilafah Islam adalah demi untuk bisa dijalankannya syariat Islam.
Sebab secara tidak sadar sebagian dari syariat Islam sudah toh sudah berjalan dengan baik di negeri ini. Bukankah urusan nikah, talak dan rujuk serta bagi waris yang berlaku di negeri kita ini dibolehkan berjalan sesuai dengan syariat Islam? Bukankah shalat lima waktu, zakat, puasa bahkan haji dan umrah yang begitu banyak dijalankan oleh seluruh bangsa ini juga bagian dari syariat Islam? Bukankah ketika kita mengenakan busana dan menutup aurat, juga bagian dari penerapan syariat Islam? Lalu kenapa ada kesan bahwa syariat Islam itu harus dicurigai dan dimusuhi? Ketika kita mendirikan rumah sakit, perbankan, universitas dan juga berbagai institusi lainnya, kita sudah bisa menerapkan syariat Islam.

Dan secara resmi lembaga peradilan Islam yaitu Pengadilan Agama sudah ada di seluruh Indonesia, berdiri secara sah dan resmi, de facto dan de jure, bukan makar dan bukan fundementalisme, apalagi terorisme. Satu-satu agama di negeri ini yang punya lembaga peradilan sendiri cuma agama Islam. Bahkan dengan adanya reformasi di segala bidang, umat Islam dibebaskan kalau ingin menerapkan undang-undang, peraturan dan seterusnya dengan berdasarkan syariat Islam. Yang penting mendapat persetujuan dari mayoritas bangsa. Itu saja yang utama.
Jadi cangkang untuk keberadaan syariat Islam sebenarnya sudah ada, tinggal kita memikirkan isinya saja. Tetapi memang yang jadi masalah memang justru masalah isinya. Maksudnya, tidak semua umat Islam mengenal syariatnya sendiri, padahal syariat Islam itu tidak lain adalah Al-Quran Al-Kariem yang tiap hari syariat dibaca berulang-ulang, bahkan sampai diperlombakan di tingkat nasional. Sayangnya, Al-Quran itu hanya dijadikan bacaan yang ulang-ulang khususnya di bulan Ramadhan, atau sekedar dihafalkan di berbagai lembaga tahfidz, atau dibaca saat kita ziarah ke kuburan, atau saat ada kematian, atau sekedar pengisi waktu menjelang adzan Maghrib dan shalat Jumat. Sedangkan isi Al-Quran yang di dalamnya nyata-nyata terdapat hukum syariah, kita buang jauh-jauh, seolah-olah benda najis dengan level najis mughallazhah (najis berat), kalau sampai tersentuh, maka harus dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.

Naudzubillahi min zalik.
(masih bersambung)
Jakarta, 21 – 08 – 2012


Catatan Harry :
Tulisan ini merupakan status facebook dari Ustad Ahmad Sarwat, Lc. MA. yang saya sambungkan dan ditulis ulang di sini demi untuk kepentingan dakwah semata. Pembaca dapat menghubungi Ustad Ahmad Sarwat di halaman facebooknya di  http://www.facebook.com/pages/Ahmad-Sarwat/. Selain di halaman social net beliau juga dapat dikunjungi di situs www.ustsarwat.com dan http://www.rumahfiqih.com/.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Jinayat (4) : Siapa Bilang Semua Pencuri Harus Dipotong Tangannya?

Sang Surya

Cerita Dadar Gulung